Sidang Lanjutan Kasus Perjalanan Dinas DPRD Langkat
[caption id="attachment_40878" align="aligncenter" width="444"]
Sidang kasus tindak pidana korupsi pengadaan tiket perjalanan dinas di Sekretariat DPRD Langkat yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 665 juta, dengan terdakwa Zulhendra Purnama selaku agen tiket, kembali digelar di ruang Utama Pengadilan Negeri Medan, Senin (5/10/2015) siang.
Dalam agenda mendengarkan keterangan saksi tersebut, Jaksa Penuntut Umum, Arif Kadarman dari Kejari Stabat, menghadirkan dua saksi mantan Sekwan DPRD Langkat yakni, Salman dan Supomo. Dalam keterangannya, Salman mengatakan, pembelian tiket tersebut tidak semuanya kepada terdakwa. Sebab sejumlah anggota DPRD Langkat ada yang membeli dari agen lain.
"Gak semuanya pembelian itu melalui terdakwa, ada juga anggota dewan beli dari travel lain, dan ada juga kelebihan atau selisih harganya," terangnya.
Lanjutnya, untuk pemesanan tiket, anggota dewan hanya menerima boarding pass saja di bandara. "Jadi kalau tiket gak pernah ditunjukkan, hanya boarding pass aja sampai di bandara," ujarnya.
Begitu juga saat majelis hakim yang diketuai oleh, Berlin,SH, berapa persen jumlah pembelian tiket melalui Zulhendra. Salman menyatakan kalau tidak dapat memberikan jumlah pasti.
"Kalau untuk berapa persen jumlahnya itu tidak pernah saya hitung, tetapi itu bukan semuanya sama Zulhendra, ada juga dengan travel lain," terang Salman.
Hal yang sama juga dikatakan Supomo, mantan Sekwan DPRD Langkat, kalau pembelian tiket tidak dianjurkan kepada Zulhendra.
"Tidak ada menganjurkan kepada Hendra, tetapi memang dari dulunya udah seperti pembelian tiket dengan Hendra, dan berjumpanya pun di bandara," ungkapnya.
Setelah mendengarkan keterangan kedua saksi, majelis hakim pun menunda persidangan hingga minggu depan, Senin (12/5) dengan agenda mendengarkan keterangan dari saksi Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia.
Usai persidangan, Salman, saat ditanyai mengatakan kalau dalam perkara ini, adanya perjalanan dinas fiktif yang dilakukan oleh mantan Ketua DPRD Langkat, Rudi Hartono Bangun, dan ajudannya, David Helgod.
"Kenapa dari persidangan, Rudi Hartono Bangun, sulit dihadirkan? Begitu juga dengan David kok tidak dihadirkan, dan tidak ditindak lanjuti kejari stabat? Atau David ini kebal hukum? Apakah tidak ada yang mengetahui kalau perjalanan dinas yang dilakukan oleh David ini fiktif? Kenapa jaksa cuma berani memproses kami?" ketusnya.
Dirinya pun kuat menduga kalau Kejari Stabat tidak menindak lanjuti perkara ini dengan tegas. "Padahal dulu dari awal Kajari Stabat itu paling semangat dan ngotot menangani perkara ini, dan akan ada anggota dewan yang akan menjadi tersangka. Tapi apa, gak ada sama sekali, cuma sekwan aja," kesalnya.
Begitu juga dengan pembelian tiket, ada juga anggota DPRD Langkat yang memili travel sendiri dan membeli tiket sendiri, namun tidak dijadikan sebagai tersangka.
"Pembelian tiket ini kan ke beberapa travel atau agen tiket, tapi kenapa cuma Zulhendra saja yang kena, seharusnya anggota dewan, Wahana Kaban itu kena juga, karena dia memiliki travel sendiri, dan ada juga selisih harga terjadi. Ini kan tidak jelas gimana," ungkapnya.
Diketahui, dalam amar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Arif Kadarman, terdakwa dinilai bersalah bersama dengan dua mantan Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Langkat, Salman dan Supono yang mana kedua sekwan sudah diadili dan sedang menjalani hukuman, melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 665 juta.
Bahwasanya, pada pada Tahun Anggaran (TA) 2012, Pemkab Langkat mengalokasikan dana Rp 27,1 miliar untuk biaya perjalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat. Anggaran tersebut tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2012.
Dari jumlah itu, menurut jaksa, yang terealisasi hingga akhir 2012 sebesar Rp 17,3 miliar. Biaya perjalanan dinas di antaranya untuk pembelian tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air itu telah dimark-up kedua terdakwa, yakni untuk Garuda Indonesia di mark-up Rp100 ribu per tiker dan Lion Air Rp 80 ribu per tiket. Dalam hal ini, terdakwa merupakan agen yang menyediakan tiket pesawat tersebut. "Terdakwa juga ikut melakukan markup harga tiket Rp 80 ribu sampai Rp 100 ribu pertiketnya," jelas Jaksa.
Selain harga tiket dinaikkan, ada juga nama anggota dewan yang tercantum dalam database Garuda Indonesia dan Lion Air, namun tidak berangkat. Ada juga nomor tiket tetapi tidak ada dalam database di kedua maskapai tersebut. Meski begitu, tiket tetap dibayarkan.
Perbuatan terdakwa itu diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara. (bbs)
"Kenapa dari persidangan, Rudi Hartono Bangun, sulit dihadirkan? Begitu juga dengan David kok tidak dihadirkan, dan tidak ditindak lanjuti kejari stabat? Atau David ini kebal hukum? Apakah tidak ada yang mengetahui kalau perjalanan dinas yang dilakukan oleh David ini fiktif? Kenapa jaksa cuma berani memproses kami?" ketusnya.
Dirinya pun kuat menduga kalau Kejari Stabat tidak menindak lanjuti perkara ini dengan tegas. "Padahal dulu dari awal Kajari Stabat itu paling semangat dan ngotot menangani perkara ini, dan akan ada anggota dewan yang akan menjadi tersangka. Tapi apa, gak ada sama sekali, cuma sekwan aja," kesalnya.
Begitu juga dengan pembelian tiket, ada juga anggota DPRD Langkat yang memili travel sendiri dan membeli tiket sendiri, namun tidak dijadikan sebagai tersangka.
"Pembelian tiket ini kan ke beberapa travel atau agen tiket, tapi kenapa cuma Zulhendra saja yang kena, seharusnya anggota dewan, Wahana Kaban itu kena juga, karena dia memiliki travel sendiri, dan ada juga selisih harga terjadi. Ini kan tidak jelas gimana," ungkapnya.
Diketahui, dalam amar dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Arif Kadarman, terdakwa dinilai bersalah bersama dengan dua mantan Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRD Langkat, Salman dan Supono yang mana kedua sekwan sudah diadili dan sedang menjalani hukuman, melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 665 juta.
Bahwasanya, pada pada Tahun Anggaran (TA) 2012, Pemkab Langkat mengalokasikan dana Rp 27,1 miliar untuk biaya perjalanan dinas 50 anggota DPRD Langkat. Anggaran tersebut tertuang dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2012.
Dari jumlah itu, menurut jaksa, yang terealisasi hingga akhir 2012 sebesar Rp 17,3 miliar. Biaya perjalanan dinas di antaranya untuk pembelian tiket pesawat Garuda Indonesia dan Lion Air itu telah dimark-up kedua terdakwa, yakni untuk Garuda Indonesia di mark-up Rp100 ribu per tiker dan Lion Air Rp 80 ribu per tiket. Dalam hal ini, terdakwa merupakan agen yang menyediakan tiket pesawat tersebut. "Terdakwa juga ikut melakukan markup harga tiket Rp 80 ribu sampai Rp 100 ribu pertiketnya," jelas Jaksa.
Selain harga tiket dinaikkan, ada juga nama anggota dewan yang tercantum dalam database Garuda Indonesia dan Lion Air, namun tidak berangkat. Ada juga nomor tiket tetapi tidak ada dalam database di kedua maskapai tersebut. Meski begitu, tiket tetap dibayarkan.
Perbuatan terdakwa itu diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara. (bbs)