Desakan agar Jaksa Agung M Prasetyo dicopot dari jabatannya semakin menguat. Kali ini desakan datang dari Koalisi Pemantau Peradilan, yang terdiri dari Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Indonesia Corruption Watch (ICW).
Tiga LSM yang cukup berpengaruh itu menilai, bertele-telenya penanganan kasus bansos Sumut hanyalah salah satu contoh buruknya kinerja Prasetyo. Masih banyak kasus lain yang ditangani kejaksaan agung, yang tidak jelas ujungnya.
"Penanganan kasus korupsi penyalahgunaan dana Bansos di Provinsi Sumatera Utara justru menjadi tidak jelas sejak ditangani oleh Kejaksaan Agung karena tidak ada satupun tersangka yang ditetapkan dalam perkara ini," ujar Lalola Easter dari ICW, dalam konperensi pers Koalisi Pemantau Peradilan di Sekretariat ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, kemarin (25/10). Dari KontraS hadir koordinatornya, Haris Azhar, dan Julius Ibrani dari YLBHI.
Dalam catatan ICW, selain kasus bansos Sumut, Kejagung di bawah kepemimpinan Prasetyo juga tak mampu mengeksekusi Aset Yayasan Supersemar dan Piutang Uang Pengganti Hasil Korupsi sebesar Rp 4,4 triliun.
Masih terkait ketidakmampuan eksekusi, berdasarkan data BPK tahun 2014, Kejaksaan masih memiliki piutang uang pengganti sebesar Rp 11.880.833.623.374,80, US$ 215,762,042.30, dan Sin$ 34,951.6 yang belum dieksekusi dari putusan uang pengganti perkara tindak pidana korupsi.
ICW juga menilai, Satgassus Kejagung juga hanya main klaim telah menyidik 102 kasus korupsi. Namun lanjut Lalola, semua masih kasus ecek-ecek. Kejagung di era Prasetyo tidak berani membuka kembali kasus korupsi kelas kakap yang sebelumnya di-SP3.
Yang terjadi malah kejaksaan menghentikan kasus korupsi kakap seperti kasus pengadaan 5 Unit mobil pemadam kebakaran (damkar) di PT Angkasa Pura senilai Rp 63 miliar, kasus dana hibah APBD Bantul yang melibatkan politikus PDIP Idham Samawi, dan kasus kepemilikan “rekening gendut” 10 kepala daerah berdasarkan temuan PPATK akhir 2014 lalu.
Kasus terkini, penanganan kasus korupsi UPS di Pemprov DKI Jakarta juga belum jelas hingga sekarang.
"Berdasarkan sejumlah uraian di atas maka kami dapat menyimpulkan bahwa HM Prasetyo gagal menjalankan mandat sebagai Jaksa Agung dalam menegakkan HAM dan memberantas korupsi di Indonesia. Presiden Jokowi harus mengganti HM Prasetyo dengan figur lain yang lebih kredibel dan independen, bukan politisi, sebagai Jaksa Agung," beber Lalola.
Dia mengatakan, penggantian jaksa agung tepat dilakukan saat ini, bertepatan dengan setahun pemerintahan Jokowi-JK. Penggantian jaksa agung harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi kinerja jajaran kabinet.
Sedang haris Azhar dari KontraS memberikan catatan dari sisi penegakan hukum dan HAM. Antara lain, Prasetyo tidak serius mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Yang yang dilakukan malah membentuk tim kasus masa lalu untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui rekonsiliasi atau proses penyelesaian di luar hukum.
Sekedar diketahui, setahun lalu, saat Jokowi menunjuk Prasetyo sebagai jaksa agung, Koalisi Pemantau Peradilan sudah bersuara keras. Saat itu mereka sudah menyatakan, penunjukan Prasetyo yang juga politikus NasDem itu merupakan kemunduran hukum. (Bbs)
ICW juga menilai, Satgassus Kejagung juga hanya main klaim telah menyidik 102 kasus korupsi. Namun lanjut Lalola, semua masih kasus ecek-ecek. Kejagung di era Prasetyo tidak berani membuka kembali kasus korupsi kelas kakap yang sebelumnya di-SP3.
Yang terjadi malah kejaksaan menghentikan kasus korupsi kakap seperti kasus pengadaan 5 Unit mobil pemadam kebakaran (damkar) di PT Angkasa Pura senilai Rp 63 miliar, kasus dana hibah APBD Bantul yang melibatkan politikus PDIP Idham Samawi, dan kasus kepemilikan “rekening gendut” 10 kepala daerah berdasarkan temuan PPATK akhir 2014 lalu.
Kasus terkini, penanganan kasus korupsi UPS di Pemprov DKI Jakarta juga belum jelas hingga sekarang.
"Berdasarkan sejumlah uraian di atas maka kami dapat menyimpulkan bahwa HM Prasetyo gagal menjalankan mandat sebagai Jaksa Agung dalam menegakkan HAM dan memberantas korupsi di Indonesia. Presiden Jokowi harus mengganti HM Prasetyo dengan figur lain yang lebih kredibel dan independen, bukan politisi, sebagai Jaksa Agung," beber Lalola.
Dia mengatakan, penggantian jaksa agung tepat dilakukan saat ini, bertepatan dengan setahun pemerintahan Jokowi-JK. Penggantian jaksa agung harus dilakukan sebagai bagian dari evaluasi kinerja jajaran kabinet.
Sedang haris Azhar dari KontraS memberikan catatan dari sisi penegakan hukum dan HAM. Antara lain, Prasetyo tidak serius mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Yang yang dilakukan malah membentuk tim kasus masa lalu untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat melalui rekonsiliasi atau proses penyelesaian di luar hukum.
Sekedar diketahui, setahun lalu, saat Jokowi menunjuk Prasetyo sebagai jaksa agung, Koalisi Pemantau Peradilan sudah bersuara keras. Saat itu mereka sudah menyatakan, penunjukan Prasetyo yang juga politikus NasDem itu merupakan kemunduran hukum. (Bbs)