Sawit Watch: Mayoritas yang Terlibat Pembakaran Lahan Adalah Anggota RSPO

Sebarkan:
Mendesak Tanggungjawab Negara dan Pasar dalam Kebakaran Hutan dan Lahan!

[caption id="attachment_44686" align="aligncenter" width="680"]Ilustrasi pembakaran lahan Ilustrasi pembakaran lahan[/caption]

Kebakaran hutan dan lahan terparah yang mulai mengganas sejak akhir Juli 2015 berakhir sudah, bersamaan dengan datangnya musim penghujan sejak pertengahan Oktober 2015. Besarnya anggaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah melalui Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) yang mencapai lebih dari 500 miliar rupiah, ternyata tidak mampu secara maksimal untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan tersebut, sehingga pemerintah pun terpaksa menerima tawaran dari beberapa Negara tetangga untuk membantu memadamkan api.

Ini masih belum termasuk biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi dampak dari kebakaran, asap, terhadap masyarakat.

Hasil penelitian dari CIFOR mengungkapkan kerugian akibat dari kebakaran dan asap ini mencapai lebih dari 200 triliun rupiah. “Sawit Watch memperhitungkan kerugian yang diderita melebihi angka ini, yang paling besar terdampak adalah sector jasa terutama pengangkutan, kesehatan masyarakat dalam jangka panjang, terutama yang berada diwilayah terdampak, hingga korban jiwa yang mencapai 19 orang. Korban jiwa ini tentu saja tidak bisa di konversi dalam bentuk materil,” ujar Jefri, Direktur Eksekutif Sawit Watch.

Riza Harizajudin, Kepala Departemen Sosial Sawit Watch mengungkapkan “dari hasil analisa data satelit dan spatial, serta cross-check langsung ke lapangan di Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur, kami menemukan bahwa kebakaran yang terjadi mayoritas berada di areal konsesi perusahaan perkebunan sawit dan HTI, walaupun di beberapa bagian masyarakat juga melakukan pembakaran, namun dalam skala kecil dan terbatas, serta lebih ditujukan untuk membuka areal perladangan baru. Ini merupakan bagian dari culture masyarakat, terutama di Kalimantan karena beberapa komunitas masyarakat masih menggunakan system pertanian dan perladangan gilir balik”.

“Mayoritas perusahaan perkebunan sawit yang terlibat pembakaran adalah anggota dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), bahkan beberapa diantaranya telah menerima sertifikasi berkelanjutan dari RSPO,” tegas Riza.
“Terkait dengan hal tersebut, kami telah melayangkan aduan keberatan (complaint) kepada RSPO dengan tuntutan agar RSPO melakukan proses verifikasi terhadap perusahaan perkebunan sawit yang terbukti melakukan pembakaran dan/ atau terdapat titik api (terbakar) konsesinya”, ungkap Karlo Lumbanraja, Kepala Departemen Lingkungan Sawit Watch.

“Complaint ini menggunakan dasar pendekatan landscape (bentang-hamparan) dengan sample di 2 provinsi yaitu Jambi dan Kalimantan Tengah. Pendekatan ini diambil karena dampak dari kebakaran tidak hanya terjadi dan dirasakan di lokasi kebakaran saja, namun meluas ke wilayah dan daerah lain, bahkan yang tidak terbakar sama sekali. Maka semua perusahaan yang berada dalam region tersebut haruslah menjadi subyek yang diverifikasi, karena asap yang melanda Singapura misalnya, tidak bisa dipastikan hanya berasal dari salah satu perusahaan di Jambi atau Riau saja,” urai Karlo.

Bertepatan dengan pertemuan Internasional dalam menyikapi dan menghadapi perubahan iklim, komitmen Indonesia kembali diuji dalam kerangka pengurangan emisi gas rumah kaca.

Jokowi telah menegaskan dalam pidatonya bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca hingga mencapai 29% di tahun 2030.

“Ini adalah bentuk nyata dari paradoks! Jika melihat situasi kebakaran lahan yang terus terjadi dan berulang, tanpa proses penegakan hukum secara tegas kepada pelaku, terutama perusahaan pembakar, maka komitmen ini hanya janji manis semata. 60 lebih masyarakat yang sudah ditangkap terkait dengan kebakaran hutan dan lahan, namun untuk perusahaan sepertinya sulit sekali disentuh,” imbuh Jefri.

Persoalan ini bukan hanya menjadi tanggungjawab Negara semata, namun juga pasar dan konsumen. Dalam hal ini adalah RSPO yang merupakan standard keberlanjutan dan memberikan jaminan bahwa produk minyak sawit yang dihasilkan anggota RSPO telah menaati prinsip-prinsip keberlanjutan dan praktik terbaik pengelolaan dan produksi minyak sawit.

“Jika tidak ada tindakan serius dari RSPO, maka cukup masuk akal mempertanyakan komitmen atas keberlanjutan yang selalu di usung ini. Tahun 2013 yang lalu, Executive Board RSPO pernah melayangkan complaint atas isu kebakaran dan asap ini juga, namun lebih difokuskan pada 1 perusahaan saja, maka sekarang Sawit Watch menunggu respon dari RSPO terhadap tuntutan untuk melakukan verifikasi menyeluruh terhadap perusahaan anggota RSPO yang berada dalam region. Kami meminta penanganan secara meluas dan massive, sama seperti dampak yang ditimbulkan dari kebakaran dan asap ini, meluas dan massive juga. Selain itu, Negara juga harus mengambil sikap tegas terhadap perusahaan pembakar ini, ini termasuk dalam kategori Kejahatan Kemanusiaan, korban tidak hanya yang terkena ISPA atau sudah meninggal, namun potensi rusaknya kesehatan dalam jangka panjang, serta hilangnya 1 generasi sehat di Indonesia,” tutup Inda Fatinaware, Ketua Badan Pengawas Sawit Watch.(rel)
Sebarkan:

Baca Lainnya

Komentar