RUU Tax Amnesty Cederai Prinsip Keadilan Sosial

Sebarkan:
[caption id="attachment_51108" align="aligncenter" width="620"]Ilustrasi tolak tax amnesty Ilustrasi tolak tax amnesty[/caption]

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Ecky Awal Mucharam menegaskan bahwa RUU Tax Amnesty mencederai prinsip Keadilan Sosial yang dianut oleh konstitusi UUD 1945 dan Pancasila Sila Kelima.

Sebab, dengan adanya penerapan Tax Amnesty tersebut, para pengemplang pajak yang menyimpan dan tidak melaporkan kekayaannya di luar negeri dalam bentuk Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kepada pemerintah Indonesia, cukup membayar tarif tebusan sebesar 1-6 persen, ditambah penghapusan sanksi administrasi, dan pidana perpajakan.

“Sementara di sisi lain, ada ibu-ibu yang membeli minyak goreng dikenakan pajak PPN, ada karyawan yang dipotong gajinya karena PPH, dan ada petani yang kena pajak PBB. Kontribusi ini sangat besar untuk pembangunan, dibandingkan dengan para pengemplang pajak tersebut yang jumlahnya kurang dari 1 persen tapi menguasai 50 persen lebih kekayaan Indonesia. Ini mencederai Keadilan Sosial,” jelas Ecky saat menjadi keynote speech FGD Fraksi PKS ‘Urgenkah RUU Pengampunan Pajak?’ di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/4).
Selain itu, tambah Ecky, dengan adanya Tax Amnesty ini, otomatis akan menghapus ketentuan pembayaran denda sebagaimana diatur dalam UU Perpajakan. Sebab, jika menggunakan ketentuan di UU tersebut, para wajib pajak yang mengemplang diharuskan membayar denda maksimal sebesar 48 persen. Juga, jika ada unsur pidana dalam pajak tersebut, maka tebusan pidana kurungan dapat ditukar dengan empat kali pokok pajak.

“Sehingga, jika ada dana pengemplang pajak di luar negeri sebesar Rp 2.000 triliun, dikenakan denda 48 persen, berarti ada denda yang didapat negara sekitar 800 triliun. Jika ditambah dengan tebusan pidana sebesar empat kalinya, berarti negara mendapat pemasukan sebesar 3.200 triliun,” tambah politisi yang berpengalaman menjadi auditor pemerintah ini.

Oleh karena itu, Ecky lebih mendorong agar pembahasan Revisi RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) Nomor 6 Tahun 1993 lebih diutamakan, dibandingkan RUU Tax Amnesty. Agar pemerintah lebih mempersiapkan reformasi struktural perpajakan, baik dari segi regulasi, maupun transparansi, sebelum adanya era keterbukaan yang ditandai dengan adanya AEOI (Automatic Exchange of Information) akhir tahun 2017.

“Jadi, tidak usah khawatir tidak akan mendapatkan dana itu. Sebab, investasi akan datang kalau kita memperbaiki regulasi perpajakan juga infrastruktur kelistrikan, jalan, dan sebagainya.

Diketahui, dalam FGD ini juga turut mengundang beberapa narasumber, seperti Yustinus Prastowo (Center for Taxation Analysis), Firdaus Ilyas (Divisi Monitoring dan Analisa Anggaran ICW), dan Haula Rosdiana (Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak UI). (pks)
Sebarkan:

Baca Lainnya

Komentar