![]() |
Lokasi lahan yang dicaplok diduga mafia tanah |
Kebijakan Presiden RI Joko Widodo yang melakukan
percepatan pembangunan infrastruktur--salah satunya pada proyek Jalan Tol
Binjai-Tanjung Mulia dinodai oleh sekelompok mafia tanah.
Lahan warga dicaplok tanpa hak dan ditengarai melibatkan oknum pejabat pemerintahan, karena secara tiba-tiba muncul sertifikat.
Lahan warga dicaplok tanpa hak dan ditengarai melibatkan oknum pejabat pemerintahan, karena secara tiba-tiba muncul sertifikat.
Hal ini diketahui dari pengaduan sejumlah warga yang
datang ke Redaksi Metro Online, di Jalan KL Yos Sudarso KM 7,2 No 35-E, Kel
Tanjung Mulia Hilir, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan, Sumut, Rabu (4/4/2018)
siang.
Mereka adalah ahli waris dari para pemilik lahan sawah
yang kini sedang dalam proses ganti rugi oleh Tim Pengadaan Lahan Jalan Tol Binjai-Tanjung
Mulia. Di antaranya, Rita Rahayu ahli waris alm Djoyo Pawiro, Supriyatno ahli waris
alm Bibit, Wagiman ahli waris alm Tikem, Misnan ahli waris alm Jentu, Seni Wati
ahli waris alm M Said, Saputra ahli waris alm Ramino, Yanto ahli waris alm
Miskun, Indra Hadi Suswoyo ahli waris alm Mimbar/Kasbi dan Sri Sa’bania ahli waris
alm Wongso Wijoyo.
“Mereka ini masih ada banyak lagi. Tapi baru kesembilan ini
saja yang baru kita bisa temui. Karena mereka ini sudah banyak yang pindah
jauh. Bahkan ada yang sama sekali tidak terdeteksi lagi keberadaannya,” kata
Suparmin SH selaku pendamping warga.
Dijelaskannya, proses ganti rugi lahan jalan tol yang
berlangsung selama ini, sama sekali tidak diketahui para warga. Karena tidak ada yang memberitahukan. Hal ini juga
diamini para ahli waris yang ditanyai wartawan di markas redaksi.
“Kami memang nggak tahu ada proses ganti rugi. Kami tahunya tanah kami sudah dicaplok orang dari Pak Suparmin ini yang mendatangi kami satu persatu,” kata Seni Wati, Misnan dan warga lainnya.
“Kami memang nggak tahu ada proses ganti rugi. Kami tahunya tanah kami sudah dicaplok orang dari Pak Suparmin ini yang mendatangi kami satu persatu,” kata Seni Wati, Misnan dan warga lainnya.
Menurut para warga, di waktu lampau orangtua mereka lah
yang mengelola lahan pertanian itu. Lalu pada tahun 1985 hingga 1986, pemerintah
yang waktu itu diwakili Kantor Agraria (Kini ATR/BPN) melakukan ganti rugi
lahan karena sebagian areal mereka dipakai untuk pembangunan Jalan Tol Tanjung
Mulia.
Sejak itu, karena areal sudah semakin sempit, hanya
sebagian di antara mereka yang melanjutkan bertanam padi. Sedangkan sebagian
lagi disewakan kepada orang lain. Bahkan, sebagian kecil ada yang membiarkannya
digarap orang lain secara gratis.
“Ganti rugi jalan tol pertama tahun 1985, orangtua mereka
ini yang terima ganti rugi. Lha, ganti rugi jalan tol lanjutan yang sekarang,
kok bisa nama orang lain yang dicatatkan? Pakai sertifikat tahun 1977 pulak.
Ada apa ini? Kalau benar sertifikat itu ada tahun 1977, harusnya pemilik sertifikat
itu yang menerima ganti rugi jalan tol tahun 1985!” geram pria yang pernah
sebagai caleg ini.
Suparmin berharap, atas kasus ini, pemerintah berlaku
adil dan bijaksana. Sebab bila pembayaran ganti rugi lahan diberikan kepada
orang yang tidak berhak, bisa menimbulkan pergolakan.
Karena itu pula, pihaknya sudah melayangkan surat ke berbagai pihak hingga pemerintahan di pusat agar perkara ini mendapat perhatian serius.
Karena itu pula, pihaknya sudah melayangkan surat ke berbagai pihak hingga pemerintahan di pusat agar perkara ini mendapat perhatian serius.
Terpisah, surat keberatan warga sudah dilayangkan kepada
Ketua Pengadaan Lahan Jalan Tol yang dijabat oleh Kepala Kantor Wilayah Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sumut, dan ditembuskan
kepada Presiden RI, Kepala Ombudsman RI, Kepala Ombudsman Perwakilan Sumut,
Kapolda Sumut, Kajati Sumut, Kabinda Sumut, dan banyak lagi.
Sementara itu, Lurah Tanjung Mulia Hilir, Maulana Harahap
yang ditemui di ruangannya mengaku tidak mengetahui bagaimana mekanisme
sehingga sertifikat-sertifikat itu bermunculan. Namun menurut berkas yang masuk
ke mejanya, proses itu berawal dari surat Camat tahun 70-an. “Mereka menyebut
daerah itu sebagai kapling kejaksaan. Jadi ada bagusnya coba telusuri itu ke
BPN Sumut dan Medan. Karena di sana ada berkasnya semua itu,” sebutnya.
Disinggung, bagaimana mungkin ada sertifikat di areal persawahan
tahun 1977? Maulana Harahap mengaku tak tahu. Begitu juga saat ditanya,
bagaimana mungkin pemilik lahan seperti yang tertera di sertifikat 1977, adalah
nama-nama bermarga Tapanuli, sedangkan waktu itu kawasan tersebut hanya
dikelola oleh warga keturunan jawa, sang lurah juga tak bisa menjawab.
Awaluddin, penduduk asli Tanjung Mulia Hilir yang
mengetahui seluk beluk proses pergantian jalan tol tahun 1985 mengatakan, pada masa-masa
itu di daerah tersebut tidak ada dikelola oleh warga Tapanuli.
"Orang Tapanuli masuk ke daerah itu baru sekitar 90-an. Konon pulaklah tahun 1977 seperti yang tertera di sertifikat. Aneh itu kalau zaman dulu persawahan pakai sertifikat. Zaman sekarang aja masih bisa hitung jari. Kok bisa pulak zaman dulu pakai sertifikat,” terang sumber. (red)
"Orang Tapanuli masuk ke daerah itu baru sekitar 90-an. Konon pulaklah tahun 1977 seperti yang tertera di sertifikat. Aneh itu kalau zaman dulu persawahan pakai sertifikat. Zaman sekarang aja masih bisa hitung jari. Kok bisa pulak zaman dulu pakai sertifikat,” terang sumber. (red)