PLTA Batang Toru Ramah Lingkungan dan Menguntungkan Masyarakat

Sebarkan:

Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru di Tapanuli Selatan
Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru di Tapanuli Selatan 

SUMUT | Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Tapanuli Selatan yang ramah lingkungan memberikan tiga manfaat besar sekaligus dari sisi energi listrik, ekonomi, dan lingkungan bagi masyarakat, Sumatera Utara, Indonesia, dan Dunia. Tak hanya itu, kelestarian flora dan satwa liar seperti orangutan akan tetap terjaga kelestariannya karena PLTA Batang Toru telah melaksanakan kajian Environmental and Social Impact Assessment (ESIA).

PLTA Batang Toru berkapasitas 510 MW di Sumatera Utara menjadi salah satu dari pelaksanaan program strategis nasional untuk mencapai target pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW di Indonesia. PLTA Batang Toru merupakan  pembangkit energi terbarukan yang ramah lingkungan. Energi terbarukan adalah energi yang dapat pulih secara alami, ada terus menerus dan berkelanjutan.

Pemaparan mengenai PLTA Batang Toru yang ramah lingkungan disampaikan dalam Media Briefing di Medan, Jumat (22/2). Hadir sebagai pembicara Firman Taufick, Senior Executive for External Relations PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) Dr. Agus Djoko Ismanto Ph.D., Senior Advisor Lingkungan PT NSHE, dan Wanda Kuswanda, S.Hut, M.Sc., Ahli Peneliti Utama di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) AeK Nauli.

Firman Taufick mengatakan Indonesia memiliki sumber energi terbarukan berupa panas matahari, air, angin, bioenergi, dan panas bumi. Potenisi sumber energi dari air mencapai 75 ribu MW di seluruh Indonesia. Pemerintah menargetkan bauran dari energi terbarukan dapat mencapai 23% dari total sumber energi pada 2030.

Kehadiran PLTA Batang Toru untuk mengurangi peran pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) pada saat beban puncak di Sumatera Utara. Pilihan pada PLTA karena lebih bersih dan lebih berkesinambungan. Karena itu kehadiran PLTA Batang Toru akan mendukung pengurangan emisi karbon Sumut dan nasional sebagai langkah kongkrit implementasi Kesepakatan Paris.

Firman Taufick mengatakan pembangunan PLTA Batang Toru wujud kongkrit untuk menghadirkan green energy di Indonesia khususnya di Sumatera Utara. Kehadiran PLTA Batang Toru memberikan manfaat sangat penting bagi Sumatera Utara, Indonesia, dan dunia.  Dari sisi energi, PLTA Batang Toru untuk mengurangi peran pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang memakai energi fosill pada saat beban puncak di Sumut.

Dari sisi ekonomi, dengan memakai sumber energi air maka pemerintah bisa menghemat pengeluaran devisa hingga US$ 400 juta per tahun karena tidak menggunakan bahan bakar fosil. Dari sisi lingkungan, PLTA Batang Toru yang merupakan pembangkit energi terbarukan berkontribusi besar mengurangi emisi karbon nasional yang penting untuk mencegah dan memerangi dampak perubahan iklim yang sedang menjadi ancaman dunia.

“Jadi kehadiran PLTA Batang Toru juga sebagai langkah kongkrit menerapkan Perjanjian Paris yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No.16 Tahun 2016,” kata Firman. Hasil Kajian Pustaka Alam menunjukkan PLTA Batang Toru dapat mengurangi emisi gas rumah kaca mencapai 1,6 - 2,2 juta metrik ton CO2 atau 4% target sektor energi Indonesia pada 2030.

Ramah Lingkungan
Agus Djoko Ismanto (Adji) mengatakan kawasan pembangunan PLTA Batang Toru berstatus APL, bukan hutan primer. Hal ini dapat dilihat dari vegetasi yang tumbuh di lokasi didominasi pohon karet dan jenis-jenis pohon perkebunan lainnya. “Walaupun berada di APL, kami sangat menyadari kelestarian kawasan Batang Toru adalah elemen penting karena proyek ini memilki ketergantungan pada keteraturan suplay air dari alam,” kata Adji.

Menurut Adji, PLTA Batang Toru berkomitmen untuk menjadi market leader pembangkit listrik tenaga air. Sejak masa persiapan dan pelaksanaan pembangunan, PLTA Batang Toru mengadopsi dan menerapkan standar-standar nasional dan internasional.

“Selain memenuhi AMDAL, kami telah melaksanakan kajian Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) yang menjadikan kami PLTA pertama di Indonesia yang melaksanakan Equatorial Principle,” kata Adji. Jadi dalam hal ini penanganan lingkungan termasuk satwa liar, seperti orangutan di sekitar ke wilayah pembangunan PLTA mengacu juga pada standar ESIA tersebut.

Wanda Kuswanda, yang telah melakukan riset orangutan di Batang Toru selama 15 tahun, mengatakan hasil penelitiannya menunjukkan APL kawasan Batang Toru bukan merupakan habitat utama orangutan. Hal ini berdasarkan hasil analisis populasi penemuan sarang dan sebaran pakan yang lebih banyak pada hutan konservasi maupun hutan lindung. Rendahnya orangutan di APL karena kawasan ini telah banyak berubah menjadi lahan perkebunan, pertanian, dan pemukiman masyarakat Tapanuli sejak ratusan tahun yang lalu.

“Berdasarkan hasil pengamatan dan yang pernah saya lihat langsung, orangutan di sana sudah banyak yang hidup di ketinggian 600 - 900 meter,” kata Wanda. Jadi dalam hal ini pemberdayaan stakeholder yang ada di sana menjadi berperan penting untuk menjaga kelestarian satwa liar termasuk orangutan di dalamnya.

Menurut Adji, selama ini PLTA Batang Toru telah aktif bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah serta stakeholder untuk menjaga kelestarian flora dan fauna. PLTA Batang Toru juga turut aktif dan mengikuti arahan Kementerian LHK terutama melalui BBKSDA dalam  memonitor satwa liar seperti orangutan yang masuk ke APL lokasi pembangunan Batang Toru. Diantaranya dengan membangun jembatan arboreal untuk orangutan menjelajah dari hutan ke APL dan sebaliknya, serta mendukung pembangunan demplot  pengkayaan pakan orangutan.(rel)
Sebarkan:

Baca Lainnya

Komentar