Kepala Desa Jangga Dolok Rahmat Manurung Hidupkan Kembali Tradisi "Mardege"

Sebarkan:
Bupati Tobasa Darwin Siagian dan Kepala Desa Jangga Dolok Rahmat Manurung lakukan Mardege.
TOBASA | Dalam kegiatan Great Harvest Festival 19 s/d 21 Juli 2019 yang dilaksanakan di Desa Jangga Dolok Kecamatan Lumban Julu Kabupaten Toba Samosir tumbuhkan kembali nilai-nilai budaya untuk menarik minat para wisatawan lokal maupun internasional.

Rahmat Manurung sebagai Kepala Desa Jangga Dolok juga sebagai pelopor dalam kegiatan ini menyampaikan bahwa kegiatan Great Harvest Festival tersebut adalah secara khusus mengangkat kebiasaan nenek moyang Batak Toba dalam menuai padi atau Mardege. Acara Festival Panen Raya ini juga dirangkai dengan kegiatan yang lain seperti Pasar Rakyat, Marmuccak, Manortor, Martandang Najolo, dan Martumba.

"Great Harvest Festival ini adalah sebagai event Pariwisata yang diharapkan akan dapat memperkenalkan Desa dan Kabupaten Toba Samosir kepada dunia, untuk menarik menarik wisatawan berkunjung ke Tobasa. Great Harvest Festival akan dilaksanakan sebagai event tahunan dan juga menginspirasi Desa atau Kecamatan lainnya dalam melaksanakan kegiatan yang sama dengan tema yang berbeda," terangnya pada Minggu (21/7/2019).

Tambahnya, dalam kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari ini, yang lebih menarik adalah kegiatan "Mardege". Karena dalam budaya Batak Toba, Mardege begitu akrab dengan jiwa kebersamaan serta rasa kegotong Royongan.

"Kegiatan Mardege saat ini sudah hampir punah. Maka dengan adanya acara ini, kita hidupkan kembali tardisi Mardege. Selain menghidupkan kembali, juga dapat menjalin nilai-nilai kebersamaan dan kegotongroyongan sesama masyarakat" terang Rahmat Manurung.
Tourist luar Negeri asal Ceko dan Holland coba lakukan Mardege.
Berikut arti daripada Tradisi "Mardege" menurut Panitia Great Harvest Festival Jangga Dolok :

Mardege adalah mengirik padi dengan cara menginjak-injak gabah agar biji padi terlepas dari tangkainya. Biasanya dua Minggu sebelum panen, pemilik sawah memotong tujuh pokok padi untuk di "patuahon" ketujuh batang padi tersebut akan diselipkan di Sopo (lumbung) tempat dimana padi yang sudah dipanen akan disimpan.

Mardege sebuah tahapan dalam prosesi memanen padi di kampung. Padi yang menguning dan siap dipanen, terlebih dahulu disabi (sabit/potong) sekitar 30 cm dari pangkal. Kemudian padi-padi tersebut dikumpulkan dalam bentuk lingkaran yang disebut Luhutan. Padi disusun demikian rupa batangnya kearah luar lingkaran. Untuk membentuk luhutan dibutuhkan dasar/fondasi yang kuat. Dengan dasar yang kuat, maka susunan batang padi yang semakin meninggi, tidak akan mudah roboh. Luhutan biasanya akan didiamkan selama kurang lebih seminggu supaya lebih mudah dirontokkan Biur (bulir-bulir) padinya dengan cara "Mardege".

Mardege biasa dilakukan mulai dari pukul 4 pagi hari, untuk menghindari panas terik matahari. Biasanya Ini dilakukan oleh masyarakat Toba dengan cara "Marsialapari" ( gotong royong) dengan pemilik sawah. Bentuk lingkaran dari Luhutan padi yang disusun menggambarkan filosofi suku Batak yang erat kekeluargaan dan bergotong royong sebagai bentuk kebersamaan.

Adapun alat-alat yang dibawa untuk Mardege adalah seperti Jual (ampang besar ), Raga (tampi untuk menyaring dan mengipas padi), Amak (tikar dari anyaman bayon), Panunuhan Bahulbahul Parrasan (tempat padi), Dupang Siotanan (kayu yang ujungnya bercabang seperti ketapel serta bambu untuk pegangan/penopang saat Mardege), Hodong ni Pakko (dahan pohon enau sebagai tempat berlindung dari terik matahari).

Dalam proses Mardege, para bapak-bapak memulai dengan mengambil batang padi yang telah disusun bentuk lingkaran dan kemudian digelar diatas tikar. Disusun sedemikian rupa sepanjang batas Dupang dan Siotanon yang telah ditancapkan ketanah. Lalu dilakukan Mardege dengan cara menginjak bulir-bulir padi dengan menggunakan kaki telanjang. Seperti berjalan ditempat, kaki melipat batang bulir padi sehingga bulir padi terlepas. Bulir padi yang sudah rontok, para ibu-ibu memindahkannya untuk dibersihkan dengan memisahkan batang-batang padi yang masih bercampur dengan padi hasil dari Mardege.
Lalu ibu-ibu melakukan Mamurpuri dengan cara seorang ibu menjunjung Jual (bakul) yang berisi padi lalu menumpahkannya secara pelan-pelan dan mengipas tumpahan padi dengan menggunakan raga (tampi) agar bulir padi terpisah dari kotoran batang padi.

Banyaknya hasil Mardege per hari, itu semua tergantung cuaca, jumlah orang yang mengerjakan serta luas lahan. Padi yang sudah dijemur dan kering, disimpan di Sopo (lumbung padi) dan digunakan sesuai kebutuhan.
Acara tersebut juga dihadiri Oleh Bupati Tobasa Darwin Siagian, para OPD Tobasa, Kapolres Toba Samosir AKBP Agus Waluyo Sik, Camat Lumban Julu Alfaret Manurung, Kapolsek Lumban Julu AKP Komando Tarigan, Danramil Lumban Julu Lettu Inf Sati Husaini serta Masyarakat Tobasa.(OS)
Sebarkan:

Baca Lainnya

Komentar