Dimana Kartu Prakerja?

Sebarkan:

TENTUNYA, sejauh ini penulis menilai dan menanggapi keluhan beberapa masyarakat, program kartu prakerja banyak menuai kontroversi. Sebagian yang tidak menerima itu bukan karena dia tidak mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau sembako yang sudah di sediakan di setiap kelurahan, kepling dan kantor kepala desa.

Namun, masalahnya, orang yang sudah mampu dan ‘kaya’ juga mendapatkan BLT yang tidak di seleksi secara tertib. Banyak hal yang harus di perbaiki menyangkut program kartu prakerja. Khususnya, perhatian utama adalah ketidak relevansiannya.

Perlu dipahami pemerintah, berjalannya waktu demi waktu, hari demi hari, minggu ke minggu, jumlah pengangguran, pemutusan hubungan kerja (PHK), yang dirumahkan semakin meningkat.

Merujuk informasi dari Kamar Dagang dan Industri Nasional (Kadin), setidaknya jumlah tenaga kerja yang dirumahkan atau terkena PHK kini berjumlah 6 juta orang.

Angka itu menambah jumlah pengangguran menjadi hampir 13 juta orang, belum memperhitungkan tingkat pengangguran setengah terbuka dan tersembunyi.

Ditambah lagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri terpaksa kembali ke Indonesia.

Menurut hemat penulis, pemerintah memberhentikan kartu Prakerja ini yang alasannya untuk penanganan covid, tidak menjadi alasan, masih banyak lagi yang lebih penting dari itu untuk di perbaiki. Terutama ketidak relevansian eksekusi di lapangan, sistem yang amburadul, data yang semrawut, menimbulkan ketidak adilan dan kedzoliman sosial.

Maka perlu adanya perbaikan secara cepat untuk program ini. Pada awalnya Kartu Prakerja dikonsep demi memberikan pengembangan kompetensi berupa bantuan biaya yang ditujukan untuk para pencari kerja, pekerja yang kena PHK, pekerja yang membutuhkan peningkatan kompetensi agar mampu bersaing di kancah internasional.

Bahkan disesuaikan dengan digitalisasi daring serta melibatkan berbagai lembaga pelatihan dan industri terkait. Namun, kehadiran pandemi yang sampai sekarang kita rasakan, membuat pelatihan itu hanya online saja dalam waktu yang singkat.

Melihat data keuangan, angka anggaran kartu prakerja meningkat lagi. Dari semula 10 terliun, kini menjadi 20 terliun. Ada satu kritik substantif terhadap program ini adalah tidak terlalu relevan dengan kebutuhan peserta karena yang dibutuhkan adalah bantuan uang tunai yang dapat dibelanjakan memenuhi kebutuhan hidup.

Jika kita membaca sejarah, kejadian ini persis yang terjadi pada periode New Deal di era Presiden Roosevelt.

Periode New Deal di era Presiden Roosevelt banyak membangun infrastruktur di berbagai penjuru, namun, banyak pula infrastruktur tidak terpakai atau kasarnya belum dibutuhkan oleh masyarakat.

Program pelatihan yang dilakukan secara online sekarang ini sama sekali tidak memberikan hasil yang tepat guna.

Pasalnya, tidak terlalu relevan, mengada-ada, serta tidak berkualitas, sehingga secara berkesinambungan harus terus diperbaiki sesegera mungkin. Untuk memperbaiki program ini, baiknya dilakukan survey kepada konsumen yang mengikuti pelatihan dan melibatkan monitoring serta lakukan evaluasi rutin.

TRANSPARAN DAN AKUNTABEL

Pasca pengunduran diri staf khusus presiden terkait permasalahan pelatihan kartu prakerja, sangat menuai konflik. Tidak bisa lagi dipungkiri.

Karena hal ini memunculkan persepsi negatif dari publik, menimbulkan dugaan adanya kongkalikong dari para pengelola program. Untuk menghindari berlanjutnya persepsi yang tidak bermanfaat ini, sudah saatnya pengelola program bersikap lebih transparan dan akuntabel, jika perlu menjelaskan secara terbuka mengenai hubungan kerja sama para pihak yang terlibat.

Para pengelola bisa melibatkan aparat penegak hukum dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan untuk mengevaluasi guna memastikan tata kelola berjalan dengan baik.

Kritik juga tertuju pada dominannya salah satu platform digital karena menguasai sekitar 60% dari transaksi pada batch pertama program.

Bila berkelanjutan, dikhawatirkan ini melanggar aturan persaingan usaha. Untuk itu, dua hal perlu dilakukan. Pertama, pengelola membuat sistem yang menjamin adanya pemerataan bagi platform digital yang dilibatkan. Kedua, memperbanyak platform digital lain untuk ikut dalam program, termasuk yang kini diinisiasi oleh publik yang menawarkan berbagai program pelatihan gratis dengan platform digital bersifat publik.

Artinya, para peserta bisa mencairkan dananya setelah mengikuti pelatihan gratis. Sebenarnya program ini serupa dengan Bantuan Pangan Nontunai yang melibatkan banyak produsen bahan baku pangan, warung, dan supermarket.

Program ini sudah berjalan sekian lama tanpa menimbulkan kehebohan di masyarakat. Menambahi permasalahan lain, yaitu tidak adanya standardisasi dalam materi pelatihan dan belum terbangunnya sistem untuk verifikasi semua jenis pelatihan yang berjumlah lebih dari 2.000 jenis.Lalu, apakah sertifikasi yang dikeluarkan diakui oleh pasar yang nantinya memanfaatkan?

Terakhir, terkait dengan kelembagaan dalam program Kartu Prakerja. Sejak awal, program ini dilaksanakan oleh Project Management Unit di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian.

Banyak pihak berpendapat seharusnya unit ini berada di Kementerian Tenaga Kerja yang memang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Kemungkinan besar Presiden memiliki pertimbangan lain.

Tetapi yang jelas transformasi program ini ke Kementerian Tenaga Kerja dalam jangka waktu tertentu perlu dipertimbangkan.

Dimana kartu prakerja? Caranya agar masyarakat paham dan kenal dengan zat keberadaan kartu ini, segera perbaiki dan tepat pada sasaran.

Dengan demikian kita tidak lagi membuang-buang waktu untuk menjawab konflik yang sejatinya bukan kelas kita lagi untuk konflik di masa ketatnya persaingan.

 Oleh: Qahfi Romula Siregar Dosen Fakultas Ekonomi Dan Bisnis UMSU
Sebarkan:

Baca Lainnya

Komentar