Tim JPU dari Kejari Tanjungbalai
dalam 3 sesi menghadirkan 5 saksi di ruang sidang Cakra 8 Pengadilan Tipikor Medan,
termasuk mantan Walikota Tanjungbalai periode 2011-2016 H Thamrin Munthe untuk
didengarkan keterangannya.
Pantauan awak media, beberapa menit
H Thamrin Munthe mirip orang ’kebingunan’, tidak mampu menjawab sodokan
pertanyaan hakim ketua Akhmad Sahyuti tentang pencairan penyertaan modal untuk
pekerjaan proyek mendekati penghujung Tahun Anggaran (TA).
"Ayo coba dulu saudara saksi
jelaskan. Kenapa dana penyertaan modalnya di TA 2013 dan 2014 dicairkan di
bulan Oktober? Padahal hasil rapat paripurna dengan DPRD Kota Tanjungbalai
telah disetujui di 2012. Sebab menurut saksi-saksi pada sidang lalu, mepetnya
pencairan dana penyertaan membuat rekanan kewalahan menyelesaikan
pekerjaan," cecar Akhmad Sahyuti.
Mantan orang pertama di Pemko
Tanjungbalai tersebut kemudian mengatakan, dirinya secara teknis tidak menguasai tentang keuangan dan pekerjaan proyek tersebut. Melainkan para stafnya.
Fakta mencengangkan lainnya juga
terungkap ketika mendengarkan keterangan 3 saksi lainnya dari unsur Pejabat
Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK} yakni Yudi Heri Nasution, Sarifuddin dan
Slamat Ritiyadi.
Soft Drawing
Menurut Yudi, dia dan kedua saksi
lainnya hampir setiap hari berada di lokasi pekerjaan. Sesuai isi kontrak, PT Andry
Karya Cipta (AKC) sebagai pemenang
tender tender tertanggal 2 April 2014 dengan Direktur Oktavia Shombing (terdakwa
pada berkas terpisah hadir langsung dipersidangan, red) pada pekerjaan Penyelesaian
Pembangunan WTP III dan Pemasangan Pipa Distribusi
Utama sepanjang 600 M di Lokasi WTP Beting Semelur PDAM Tirta Kualo Kota
Tanjungbalai.
“Oktavia Sihombing maupun staf dari
rekanan tidak pernah kami jumpai di lokasi pekerjaan Yang Mulia. Di lokasi kami
temui kadang 10 dan kadang 5 orang pekerja dan mandor. Kerjanya pun tidak
teratur. Belum selesai di satu titik, pekerja pindah ke lokasi lain. Bahkan soft drawing
pekerjaan pun tidak ada,” urainya.
Fakta lainnya, unsur konsultan (pengawas
pekerjaan proyek) dari CV Bedangke dengan Direktur Suprianto juga tidak pernah
terlihat di lokasi pekerjaan. Namun setahu bagaimana salah seorang staf ahli di
perusahaan pengawas tersebut bernama Mahdi Azis Siregar yang melanjutkan
pekerjaan.
Selain nama Mahdi Azis Siregar yang
melanjutkan pekerjaan juga terungkap nama Ucok Tampubolon dan saksi
Hot Mangiring Sitohang
“Temuan kejanggalan di lapangan sudah
kita laporkan ke pak Herianto selaku PPK dan atasan langsung (juga terdakwa
pada berkas terpisah, red). Nggak tahu aku itu. Nggak tahu aku,” kata saksi menjawab
pertanyaan salah seorang anggota tim JPU menirukan ucapan Herianto.
Terima Duit
Dalam kesempatan tersebut ketiga
saksi mengaku ada menerima uang dari Tuti, Bendahara PT AKC bernama Tuti ketika
PPK Herianto memerintahkan mereka mendampingi utusan utusan rekanan untuk
mencairkan progress pekerjaan ke Medan. Saksi Yudi Heri Nasution mengaku menerima Rp9 juta,
Sarifuddin Rp6 juta dan saksi Slamat Ritiyadi menerima Rp5 juta dari rekanan.
Mereka telah mengembalikan uang t[dari rekanan tersebut ketika menjalani
pemeriksaan di Polda Sumut.
Sementara saksi lainnya Suprianto
selaku Direktur CV Bedangke, konsultan (pengawas pekerjaan) membantah
keterangan ketiga saksi sebelumnya. Tim saksi katanya ada melakukan pengawasan
pekerjaan proyek senilai Rp9,5 miliar tersebut.
Mengutip dakwaan JPU, 3 orang
dijadikan sebagai terdakwa terkait pekerjaan di perusahaan air minum kebanggan
warga Kota Tanjungbalai tersebut. Yakni Zaharuddin Sinaga selaku Direktur PDAM
Tirta Kualo Kota Tanjung Balai sekaligus selaku Pengguna Anggaran (PA) pada
PDAM Tirta Kualo Kota Tanjung Balai, PPK Herianto serta rekanan Oktavia
Sihombing.
Pekerjaan proyek tidak selesai sebagaimana
disebutkan dalam kotrak pekerjaan. Kerugian keuangan negara diperkirakan
mnecapai Rp1,9 miliar lebih dengan sumber dana P-APBD Kota Tanjung Balai TA
2012 sebesar Rp800 juta, APBD TA 2013-2014 sebesar Rp10,2 miliar sehingga Rp11
miliar.
Ketiga terdakwa dijerat pidana Pasal
2 ayat (1) dan Pasal 3 Jo pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. (Rbs)