Dokumen foto kegiatan RJ di kejaksaan wilayah hukum (wilkum) Kejati Sumut diikuti secara virtual Kajati Idianto serta jajarannya. (MOL/PnkmKjtsu)
(Oleh: Robert Rover Siregar, Wartawan Metro Online)
PENDAHULUAN
Istilah keadilan restoratif atau Restorative Justice (RJ) pertama kali dicetuskan Albert Eglash awal 1970 hingga tahun 1977 lalu dan menjadi bola salju reformasi sistem pemidanaan yang menggelinding di Ontario, Kanada (**Halaman Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham RI dan publika.rmol.id).
Hukuman badan (dipenjara) dinilai tidak begitu efektif. Salah satu solusinya adalah penegakan hukum lewat keadilan restoratif (RJ) dengan prinsip restitusi. Melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang bertujuan mengamankan, mereparasi (perbaikan sakit hati) bagi korban dan rehabilitasi bagi pelaku.
Mengutip Beranda Berita Kejagung (24/5/2021), pemikiran brilian Albert Eglash tersebut digaungkan kembali oleh Jaksa Agung RI ST Burhanuddin
Yakni penegakan hukum dengan mengedepankan sisi humanis yang dituangkan dalam Peraturan Kejaksaan (Perja) RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif atau RJ yang diundangkan pada tanggal 22 Juli 2021.
Pengajuan pemberian RJ tersebut juga dari bawah ke atas yakni dari Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) lewat ekspos secara virtual kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAMPidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) RI Fadil Zumhana dan diikuti Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) dan jajarannya.
Pepatah orang bijak dulu, 'Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui'. Perja RJ ini juga sekaligus salah satu obat mujarab meminimalisir persoalan klasik over-capacity di rumah tahanan negara (rutan) maupun lembaga pemasyarakatan (lapas) di Tanah Air yang tidak sedikit menguras anggaran negara.
TANTANGAN
Ada senyum dan tangis haru bercampur bahagia dan bahkan sujud dari mereka yang sebelumnya menyandang predikat tersangka kemudian dihentikan penuntutan hukumannya.
Kasus humanis tidak berujung pada pemidanaan sempat mengundang perhatian publik yakni nenek berusia 96 tahun terkait perusakan ladang (Kejari Samosir) dan kasus dugaan pencurian hanya karena untuk membeli obat si tersangka yang menderita sakit TBC (Cabjari Deliserdang di Pancurbatu). Kasus pencurian kelapa sawit untuk membeli susu anak, membayar biaya sekolah dan pengobatan anak (Kejari Langkat dan Simalungun). Ada khilaf, penyesalan dan memaafkan di sana.
Sejatinya 'roh' dari Perja Nomor 15 Tahun 2020 ada di Pasal 1. RJ adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
Tantangan pertama adalah mewujudkan keinginan luhur adanya Rumah RJ di setiap kejari di Tanah Air. Sebab dari 23 Kejari di wilayah hukum Kejati Sumut, baru ada 2 Rumah RJ (Kejari Karo dan Tobasa). Angka penghentian penuntutan hukuman para tersangka lewat RJ pun mengalami peningkatan signifikan di Kejari hingga Cabjari. Dari 72 kasus di tahun 2021 dan sudah 59 kasus di pekan ketiga April 2022 (**metro online 20/4/2022).
Kriteria untuk mendapatkan keadilan restoratif memang sudah jelas dan baik adanya. Tersangkanya baru pertama kali melakukan tindak pidana, jumlah kerugian akibat pencurian dilakukan tersangka di bawah Rp2,5 juta, ancaman hukuman di bawah 5 tahun penjara.
Tantangan selanjutnya, bisakah kita mensterilkan Rumah RJ dari tangan-tangan jahil kepentingan sesaat? Tak sudi bila 'kado' RJ jatuh kepada tersangka yang tidak tepat.
Bagaimana misalnya ada kasus anak remaja sudah meresahkan warga setempat karena acap kali terlibat kasus pencurian ternak, peralatan elektronik, tabung gas dan seterusnya dengan nilai kerugian materilnya tidak sampai Rp2,5 juta dan tidak pernah diproses hukum.
Selalu ada perdamaian dengan keluarga korban karena kasihan melihat orang tua pelaku yang kondisi ekonominya pas-pasan. Sedangkan barang hasil curian tersebut dibuat si anak untuk beli narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba) dikuatkan dengan hasil tes urine, mengandung methamphetamine dan sejenisnya.
Ketiga, bagaimana dengan 'nasib' mereka selanjutnya yang telah menerima 'kado' RJ karena alasan untuk memenuhi kebutuhan makan, beli susu, obat maupun untuk bayar utang? Apakah cukup sampai di situ saja?
Artinya, perlu sentuhan tangan dingin dari pimpinan di tingkat Kejaksaan Tinggi (Kejati), Kejari dan Cabjari agar proaktif melakukan kerjasama atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan Pemerintahan Provinsi (Pemprov), Kabupaten/Kota, asosiasi pengusaha, lembaga pendidikan, pelatihan dan seterusnya.
Pascapemberian RJ, mereka yang belum punya skill sebaiknya bisa difasilitasi mengikuti pelatihan agar nantinya bisa mendapatkan lapangan kerja di pabrik atau buka usaha. Atau bisa dipekerjakan sebagai petugas kebersihan, satuan pengaman (satpam), buruh pabrik dan lainnya tentunya dengan mendapatkan upah.
PENUTUP
Ada satu statemen ST Burhanuddin yang menggugah perhatian publik. “Saya tidak menghendaki kalian melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHPidana maupun KUHAPidana melainkan ada dalam hati nurani kalian. Camkan itu!”
Artinya adagium (peribahasa) hukum populer seperti 'Culpae poenae par esto' (Hukuman harus setimpal dengan kejahatannya) maupun 'Lex dura sed ita scripta' (Hukum adalah keras tetapi harus ditegakkan) adalah baik dan benar adanya agar seluruh warga negara taat akan hukum.
Namun hukuman tanpa rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat, seolah kita menyantap makanan dengan lauk dan sayuran tanpa garam. Sebagaimana disebutkan dalam adagium hukum, 'Equum et bonum est lex legum' bahwa 'Apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum'.
Ayo kawan. Sama-sama kita kawal Rumah RJ. Rumah Kita. BRAVO Kejaksaan RI.