Direktur LBH Medan Ismail Lubis, Kajati Sumut Idianto dan dokumen foto pemberian RJ kepada mereka sebelumnya menjadi tersangka. ( ROBS/Ist)
MEDAN | Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Ismail Lubis akhirnya angkat bicara seputar penerapan hukum Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ) yakni tanpa harus berakhir dengan memenjarakan (mempidanakan) tersangka tindak pidananya.
Penerapan hukum humanis yang sedang gencar-gencarnya digulirkan aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, lingkungan Mahkamah Agung (MA RI) sampai ke Kemenkumham hingga kini masih sebatas Peraturan di masing-masing pimpinan institusi.
"Harapannya memang RJ ini harus diatur setingkat dengan Undang Undang (UU) agar tidak beda pemahaman dan penerapan di masing-masing jajaran penegak hukum kita," kata Ismail saat dihubungi lewat pesan teks WhatsApp (WA), Selasa (3/5/2022).
Kapolri, Jaksa Agung, Ketua MA RI dan Menkumham masing-masing memang membuat Peraturan tentang RJ dan tentunya berpotensi disalahgunakan oknum di masing-masing instansi dimaksud.
"Jika di kejaksaan diterapkan RJ lalu pertanyaan selanjutnya adalah kenapa ketika kasusnya di penyidik kepolisian hal itu tidak dilakukan? Atau apakah mereka (penyidik) gagal dalam penerapan RJ atau bagaimana?" urainya.
Pertanyaan lain misalnya inisiatif RJ datang dari siapa? Apakah jaksa sendiri atau berdasarkan permohonan tersangka dan keluarganya? Terus jika ada yang ditolak permohonan RJ-nya, apa alasannya?
"Karena kita yakin masih banyak kasus yang seharusnya bisa mendapatkan 'kado' RJ tapi tidak dilakukan dengan alasan yang tidak jelas sehingga persamaan di hadapan hukum itu bisa menimbulkan bias di tengah-tengah publik," sambungnya.
Menurut alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara (FH UISU) itu, secara konsep publik khususnya LBH Medan mendukung penegakan hukum lewat RJ tapi harus diatur setara dengan UU.
Sama halnya dengan diundangkannya UU Sistem Pidana Anak. Harus jelas jelas mengatur tentang RJ tersebut dan juga mekanismenya seperti apa dan penerapannya harus hati-hati dan tidak tebang pilih untuk institusi kepolisian, kejaksaan, MA RI hingga Kemenkumham.
Faktanya memang seiring dengan perkembangan zaman, tidak semua kasus dugaan tindak pidana harus berakhir dengan tersangkanya dipenjara.
"Bukan hanya merawat nilai-nilai luhur yang ada di masyarakat tapi juga meminimalisir persoalan klasik overkapasitas penghuni rumah tahanan (rutan) maupun lembaga pemasyarakatan (lapas) yang menghabiskan anggaran negara tidak sedikit," pungkasnya.
59 Kasus
Diberitakan sebelumnya, Kajati Sumut Idianto melalui Kasi Penkum Yos A Tarigan menginformasikan, hingga pekan ketiga April 2022 baru lalu sudah 59 kasus tindak pidana dihentikan penuntutan hukumannya lewat pendekatan RJ di wilayah hukum (Wilkum) Kejati Sumut.
Penghentian penuntutannya menyusul setelah Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung (Jampidum Kejagung) RI Fadil Zumhana menyetujuinya lewat ekspose secara virtual yang dihadiri Kajati didampingi Wakajati Sumut Edyward Kaban, Aspidum Arip Zahrulyani dan staf lainnya, Selasa (19/4/2022).
Adapun dasar penghentian penuntutan adalah berdasarkan Pasal 4 Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020. Antara lain, tersangkanya baru pertama kali melakukan tindak pidana.
Jumlah kerugian akibat pencurian yang dilakukan tersangka di bawah Rp2,5 juta dan ancaman hukumannya di bawah 5 tahun penjara.
"Yang paling mendasar dalam penghentian penuntutan ini adalah adanya perdamaian antara tersangka dengan korban dan direspons positif oleh keluarga," tegas mantan Kasi Pidsus Kejari Deli Serdang itu. (ROBERTS)