2 Tahun Perjuangkan Putusan MA RI Soal Hak Asuh Anak, Ayah Kandung Malah Dijadikan 'Pesakitan'

Sebarkan:




Para saksi saat didengarkan keterangannya. (MOL/ROBERTS)



MEDAN | Sekira puluhan warga, Senin (17/7/2023) memadati ruang sidang Kartika PN Medan guna menyaksikan sidang pemeriksaan pokok perkara Nazmi Natsir Adnan yang didakwa melakukan penganiayaan terhadap mantan mertuanya, Ellia karena hendak mengambil  putri kandung sendiri dan turut menjadikan rekannya, Rinaldi Akbar duduk sebagai 'pesakitan'.


Majelis hakim diketuai Nelson Panjaitan dan anggota Fauzul beberapa kali tampak saling pandang mendengar keterangan keempat saksi yang dihadirkan JPU pada Kejari Medan Aprianto.


Menurut majelis hakim, perkara dimaksud tidak akan sampai ke 'meja hijau' bila pihak terdakwa dan keluarga mantan istrinya, Anan menyelesaikan perkara hak asuh anak dengan baik-baik.


"Saya bukan perampok. Saya bukan pembunuh. Saya bukan penculik anak sebagaimana didakwakan pak Jaksa. Dan malah Saya hampir diamuk massa. Tapi malah Saya yang ditahan," urai terdakwa Nazmi Natsir Adnan seusai sidang.


Pria 32 tahun itu menegaskan, menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Namun begitu dia juga minta keadilan. Karena negara Indonesia juga menjaga anak-anaknya. Yaitu UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang  Perlindungan Anak di Pasal 7 Huruf A.


"Setiap anak berhak untuk diasuh dan dibesarkan oleh orang tuanya. Negara menjamin itu. orang tua  bukan hanya ibu atau ayah. Negara menjamin itu untuk anak Saya," imbuhnya.


Terdakwa Agustus 2021 lalu sudah melaporkan kasus dugaan fitnah terhadap mantan mertuanya Ellia dan adik mertuanya, Layla karena dituduh melakukan penculikan terhadap anak sendiri ke Mapolda Sumut dan Polrestabes Medan cq Polsek Medan Area, namun sampai sekarang tidak 'berujung'. Tapi malah pengaduan terlapor yang diproses.


"Putusan kasasi Mahkamah Agung RI sudah inkracht 2021 lalu. Usia putri kandungku baru 3 tahun. Tiga tahun gak pernah dikasih keluarga mantan istri jumpa. Sampai detik ini tidak pernah sama sekali jumpa dengan anak Saya. Berpisah sejak dia masih berumur 3 tahun. Sekarang sudah 6 tahun. Tidak tahu macam mana panjang rambutnya sekarang dan tambah bijaknya semana sekarang.


Saya bertanggung jawab atas anak perempuan Saya sampai nanti dia nikah. Makanya Saya tegaskan, kalau cuma dipenjara. Kecil. Saya akan hadapi. Kalau untuk putri kandung Saya, kuburan pun Saya hadapi," pungkasnya.


Ego


Sementara dari arena sidang mengatakan, perkara dimaksud sebenarnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. "Masing-masing pihak ini sepertinya saling ego. Bagaimana pun terdakwa ini (Nazmi Natsir Adnan) bapaknya si anak," cecar hakim ketua kepada saksi korban mantan mertua terdakwa, Ellia.


Keterangan Ellia yang mengaku sebagai korban pemukulan pun berubah-ubah. Sebelumnya dia menerangkan, di depan rumahnya Jalan Manunggal, Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai tertanggal 18 Januari 2022 lalu dia sedang menggendong cucunya (putri terdakwa) hendak naik sepeda motor yang dikemudikan adiknya, Laila.


Namun tiba-tiba dari belakang sebelah kiri mobil berhenti dan membuka pintu samping supir menyebabkan dia sempat terjatuh. Namun saksi mengaku mendapatkan pukulan pada tangan kiri dan dia tetap tidak mau melepaskan si anak dari dekapannya.


"Saksi kan tahu. Awal muasal perkaranya adalah hak asuh anak. Dia (terdakwa) kan bapaknya. Kenapa gak dikasih kan aja?" cecar hakim anggota Fauzul. 


Namun ketika dicecar tim penasihat hukum (PH) kedua terdakwa, keterangannya kemudian berubah. "Terserah pak pengacara lah kek mana. Dipukul atau ditepis namanya itu. Gak luka. Tapi Saya tertekan secara psikis," timpal saksi sembari mempraktikkan menepis tangan kirinya.


Saksi Laila menerangkan dirinya dan kakaknya Layla berteriak culik-culik sehingga warga berdatangan ke lokasi kejadian.


Sedangkan saksi lainnya, Hanan tidak lain adalah mantan istri terdakwa Nazmi Natsir Adnan menerangkan tidak ada di lokasi kejadian. Dia tiba di lokasi setelah warga setempat ramai, setelah ditelepon ibunya, Ellia. (ROBERTS)




Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini