Kantor Kejari Tapanuli Selatan pusat Pasar Sipirok |
TAPANULI SELATAN | Kejaksaan Negeri Tapanuli Selatan (Kejari Tapsel) dinilai lamban dan tidak proaktif dalam melaksanakan tugas, pasalnya Kasus 212 Kepala Desa di Kabupaten Tapanuli Selatan masih macet bak mobil rusak ditengah jalan.
Kasus yang menimpa 212 Kepala Desa di Tapanuli Selatan masih segar diingatan. berdasarkan surat Perintah Penyelidikan (P-2) nomor : PRINT-01a/L.2.35/Fd.1/09/2021 tanggal 7 September 2021 mengenai laporan dugaan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan isi surat tersebut seluruh Kepala Desa se-Tapanuli Selatan telah dilakukan pemeriksaan secara bergilir oleh Kejari Tapsel yang pada pada saat itu dipimpin Antoni Setiawan, SH, MH yang menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Tapsel dan sekarang digantikan Siti Holijah, SH, MH.
Adapun dugaan tindak pidana korupsi Anggaran Dana Desa Tahun 2019 tersebut antara lain, pada kegiatan pengadaan papan monografi, pembelian baju kader posyandu, pembelian baju Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD), kemudian pembelian baju Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan pengadaan koran di desa.
Dalam hal ini sebanyak 212 kepala desa di Kabupaten Tapanuli Selatan diduga telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan terindikasi kerugian keuangan negara lebih kurang Rp.1,2 miliar, dari sejumlah kegiatan pengadaan tersebut hanya pengadaan uang langganan koran yang dananya dititipkan ke kejaksaan oleh setiap desa dengan jumlah keseluruhan Rp.239.575.000.
Tidak itu saja, dari pemeriksaan berdasarkan keterangan kepala desa seluruh Kabupaten Tapanuli Selatan dengan jumlah 212 desa, LPJ APBDes tahun 2019 banyak yang fiktif dan harga pengadaan di mark up.
Mengingat kasus tersebut, banyak yang menilai Kejari Tapsel lamban dalam melakukan tindakan, karena selama dua tahun publik masih menanti siapa dalang yang akan dijadikan tersangka terkait kasus dugaan Korupsi 212 Kepala Desa di Tapanuli Selatan.
Informasi yang dihimpun metro-online.co kasus 212 kepala desa ini masih terus berjalan dan sudah tahap penyidikan, namun belum diketahui sejauh mana hasil dari penyidikan tersebut sampai akan ada yang dijadikan tersangka.
Berdasarkan keterangan dari Kajari Tapsel Siti Holijah Harahap melalui Kasi Intel Martin Panjaitan mengatakan, kasus 212 kepala desa ini masih terus berjalan dan bukan dihentikan.
"Kasus ini masih tetap jalan dan tidak berhenti, hanya saja mengingat ini tahun politik maka cooling down dulu, untuk menjaga suasana kondusif," jelas Martin kepada metro-online.co, Senin (3/7/2023).
Martin juga menyebutkan, Cooling down dalam artian menyejukkan dengan cara menghentikan kasus sementara merupakan kebijakan yang diambil dari Kajari Tapsel Siti Holijah Harahap.
"Cooling down ini merupakan kebijakan dari kajari, tentunya ini menjaga kekondusifan mengingat tahun politik dan juga dalam waktu dekat secara nasional baik di daerah akan dilaksanakan pemilihan umum. setelah itu nanti kita akan lanjutkan kembali kasus ini," ungkapnya.
"Kita takutkan nanti ada pihak tertentu yang memanfaatkan momen ini dan bisa mengganggu kekondusifan pesta demokrasi. Setelah itu kemungkinan kasus ini akan dipercepat dan akan kita kabari kelanjutannya," pungkas Martin
Agus Halawa, SH Aktivis dan Pemerhati Hukum |
Sementara menanggapi hal tersebut aktivis dan pemerhati hukum Agus Halawa, SH menyebutkan, tahap penyidikan dalam satu kasus atau perkara tidak ada ketentuan batasnya.
"Memang tidak ada ketentuan dalam batas penyidikan di kejaksaan, tetapi kita berpatokan pada azas peradilan cepat sederhana dan ringan. Dengan arti bahwa ketika perkara itu sudah naik SIDIK berarti dua alat bukti sesuai pasal 184 KUHAP sudah lengkap dan tinggal menetapkan siapa pelakunya atau tersangkanya," terang Agus kepada metro-online.co, Jumat (7/7/2023).
"Nah, jika proses hukum sudah naik SIDIK namun penyidik belum menetapkan tersangka juga, maka kita menduga bawah penyidik atau pimpinan penyidik bermain dalam kasus itu," tambahnya.
Kemudian ketika Agus ditanya pendapatnya terkait kebijakan Kajari Tapsel melakukan cooling down untuk mengkondisikan suasana tahun politik. Agus menyebutkan kalau kebijakan tersebut hanya akal-akalan saja.
"Jelas itu kebijakan yang salah, kebijakan akal akalan itu. Kita cari di hukum mana ada jika mau dekat pemilu bahwa proses hukum di tunda. Tidak ada itu, hasil pemeriksaan apa lagi yang mereka tunggu. Sudah dua bukti yang mereka temukan sehingga naik sidik" cetus Agus yang juga bergelut sebagai advokad itu.
"Intinya proses hukum harus tetap berjalan. Tidak ada alasan apapun secara hukum untuk memperlama suatu perkara. Jika perkara itu kurang bukti kenapa bisa naik SIDIK, nah karena cukup dua alat bukti makanya naik SIDIK dan ini harus segera di ungkap siapa tersangkanya," tegasnya. (Syahrul/ST).