Kantor KPU Kota Padangsidimpuan |
PADANGSIDIMPUAN | Lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia saat ini terkesan menyedihkan, pasalnya lembaga yang dikenal memiliki marwah dan berintegritas serta sangat menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi bisa memberikan ruang bagi oknum komisioner pelaku tersangka kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan pemerasan bisa aktif kembali bekerja sebagai Koordinator Divisi Sosdiklih Humas dan SDM di KPU Kota Padangsidimpuan.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, Kasus OTT dan pemerasan tersebut dilakukan Parlagutan Hatahap salahsatu oknum Komisioner KPU Kota Padangsidimpuan yang membidangi Koordinator Divisi Sosdiklih Humas dan SDM.
Parlagutan Harahap disebut memeras korban salahsatu Calon Legislatif (Caleg) dengan modus jual beli suara. Awalnya pelaku meminta uang sebesar Rp 50 juta dengan dalih akan memberikan 1.000 suara kepada korban.
OTT terhadap PH ini berawal dari laporan korban kepada pihak kepolisian. Setelah diselidiki, Tim Saber Pungli Polda Sumut lalu melakukan OTT kepada Parlagutan Harahap di salah satu kafe di Padangsidimpuan, Sabtu (27/1/2024).
Saat dilakukan OTT, Tim Saberl Pungli Polda Sumut menemukan barang bukti uang senilai Rp 25 juta. Setelah OTT, Polda Sumut lalu menetapkan Parlagutan Hatahap sebagai tersangka. Status tersangka PH ditetapkan satu hari setelah pelaku ditangkap.
Tidak itu saja, selain melakukan pemerasan, Parlagutan Harahap juga diduga melakukan penekanan atau pengancaman kepada salahsatu oknum PPK. Dimana Parlagutan Harahap waktu itu tengah bersama seorang anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) inisial R. R ini merupakan perantara Parlagutan Harahap dan F, yang mengantarkan uang tersebut.
Beruntungnya R hanya berstatus saksi dalam kasus ini. Sebab, R terpaksa menjadi perantara karena ditekan. R ketakutan akan dicopot Parlagutan Harahap jika tidak mau menjadi perantara uang itu.
Parlagutan Harahap saat digiring di Polda Sumut (F. Matthew/Mistar) |
Kasus yang menjerat Parlagutan Harahap oknum Komisioner KPU Kota Padangsidimpuan ini seakan mencoreng citra lembaga KPU yang sangat menjunjung tinggi integritas, tidak itu saja ditambah Parlagutan Harahap juga dinila telah menodai nilai-nilai demokrasi di negara Indonesia ini.
Perbuatan yang dilakukan Parlagutan Harahap ini salahsatu catatan buruk demokrasi di negara Indonesia dan jelas melanggar kode etik sebagai penyelenggara pemilu dan telah melakukan tindakan perbuatan melanggar hukum.
Namun aturan main berkata lain, berdasarkan SP3 yang diberikan pihak Polda Sumut kemudian dikeluarkannya surat nomor : 1839/SDM.13-SD/04/2024 Tentang Penyampaian Salinan dan Petikan Putusan KPU, tanpa memiliki dosa Parlagutan Harahap bisa menghirup udara bebas dan ironisnya lagi bisa kembali menduduki jabatan sebagai Komisioner KPU Kota Padangsidimpuan. Sungguh ironis hukum di negara ini, ibarat kata pepatah tajam kebawah tumpul keatas.
Menanggapi hal tersebut, ketua KPU Kota Padangsidimpuan Tagor Dumora Lubis, SH kepada metro-online.co mengatakan, yang berkaitan dengan kasus OTT dan pemerasan yang dilakukan oknum Komisioner KPU Kota Padangsidimpuan tersebut sudah ditangani KPU RI.
"Terkait hal tersebut sebenarnya tidak ada kewenangan dari KPU kabupaten maupun KPU kota. Jadi untuk mengangkat dan memberhentikan anggota KPU itu sudah menjadi kewenangan KPU RI dan kita hanya menunggu perintah dari KPU RI. Jadi jika ada yang bertentangan dengan kebijakan silahkan saja langsung bertanya kepada pembuat kebijakan," kata Tagor kepada metro-online.co, Rabu (17/7/2024).
Tagor juga menyebutkan, setelah Parlagutan Harahap terjaring OTT saat itu juga surat penonaktifan sebagai komisioner KPU Kota Padangsidimpuan langsung dikeluarkan.
"Saat yang bersangkutan terjaring OTT, pada tanggal 31 Januari itu juga surat penonaktifan dia dikeluarkan KPU RI. Tetapi kasusnya ini tidak lanjut istilahnya SP3, dan surat itulah dia bawa kekantor. Dan berdasarkan itulah kami buat surat ke KPU RI melalui KPU provinsi," ungkap Tagor.
Diceritakan Tagor, terjadinya kasus OTT tersebut, saat itu KPU RI terus menunggu bagaimana keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Namun keputusan tersebut ternyata pihak Polda Sumut mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dan tidak sampai ditangani pengadilan.
"Ternyata keputusan tersebut pihak Polda mengeluarkan SP3 jadi tidak sampai ke pengadilan, istilahnya diselesaikan secara Restorative Justice (RJ). Jadi pihak sipelapor mencabut laporannya, kemudian pihak Polda Sumut melakukan mediasi sehingga terjadi perdamaian, kira-kira seperti itu," ungkapTagor.
Dalam kasus ini, ia menyampaikan menjadi suatu pembelajaran bagi KPU Kota Padangsidimpuan umumnya KPU diseluruh Indonesia.
" Ini tentunya menjadi pembelajaran, bukan hanya KPU Padangsidimpuan saja. Tetapi bagi KPU diseluruh provinsi, kabupaten dan kota diseluruh Indonesia. Dan poin paling penting disini yang mengangkat dan memberhentikan anggota KPU Kabupaten, kota itu kewenangan KPU RI," pungkas Tagor.
Terpisah, menanggapi kasus OTT oknum komisioner KPU Kota Padangsidimpuan yang mendapatkan SP3 dan diselesaikan secara Restorative Justice, salahsatu praktisi hukum Miswarsyah Harahap, SH menjelaskan, tidak semua tindak pidana di selesaikan secara Restorative Justice, apalagi kasus suap.
"Konsep restorative justice, atau keadilan restoratif, tidak dapat diberlakukan pada tindak pidana korupsi jadi kasus suap sama halnya dengan korupsi. Apalagi ini kasus OTT dan lucunya lagi sipelapor bisa mencabut laporannya kemudian berdamai," sebut Miswar kepada metro-onlime.co
Miswar menyebutkan, restorative justice dapat diterapkan pada kasus-kasus tindak pidana ringan, seperti pencurian, penganiayaan, pencemaran nama baik atau fitnah.
Tetapi kata Miswar, kasus OTT yang melibatkan oknum komisioner KPU tersebut bukan lagi merugikan si pelapor saja tetapi bisa merugikan hak-hak setiap warga negara.
"Kalau memang sudah terbukti bersalah dan terjaring OTT kenapa lagi penyidikannya dihentikan ?, ungkap Miswar.
Tidak itu saja dikatakan Miswar, kasus OTT kenapa harus ada cabut mencabut laporan. Perbuatan tersebut sudah jelas menyalahgunakan jabatan.
"Kasus seperti ini tentunya merugikan banyak orang, apalagi yang bersangkutan sebagai penyelenggara pemilu. Jadi sanksi kode etik sudah jelas ada dan dia sebagai anggota KPU sudah jelas menyalahgunakan jabatannya, tentunya ada sanksi yang diberikan. Kalau memang yang bersangkutan sudah jelas tersangka OTT kenapa tidak dicopot dari jabatannya, " tegasnya.
Miswar juga menyebutkan, kasus OTT yang menimpa Parlagutan Harahap oknum komisioner KPU kota Padangsidimpuan ini sudah jelas mencederai demokrasi dan tentunya kasus ini menjadi tanda tanya.
"Satu lagi yang penting di kasus ini, perlu juga dipertanyakan kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Bagaimana tanggapan mereka setelah terjadi kasus ini, apakah mereka mengeluarkan surat rekomendasi dan dasar hukum apa yang mereka berikan kepada si pelaku, pungkas Miswar. (Syahrul/ST)