Jalan Masih Panjang, Tuntutan Mati Pengedar Narkoba di Sumut Pintu Masuknya

Sebarkan:


Foto ilustrasi penyalahgunaan narkoba. (MOL/Int)




(Oleh: Robert Siregar,
Redaktur Metro-Online.Co)
 

“Para pengedar narkoba terus bergerak dan menemukan cara-cara baru untuk mengelabui kita, mengelabui aparat hukum dan keamanan.
Mereka memanfaatkan orang-orang yang tidak dicurigai– anak dan wanita– dimanfaatkan untuk menjadi kurir narkoba,” -- Presiden RI Joko Widodo pada Puncak Peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) Tahun 2016. 



PREAMBUL

Sebelum menorehkan guratan demi guratan Lomba Karya Tulis dengan tema, ‘Peran Kejaksaan dalam Memutus Mata Rantai Peredaran Narkoba Lewat Penuntutan Perkara Narkoba’ serta subtema, ‘Pidana mati apakah sudah cukup dalam memberikan efek jera kepada pengguna, pengedar dan bandar?’, izinkan penulis menyampaikan Selamat Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke-64 yang jatuh pada 22 Juli 2024 lalu.

Narkoba merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan obat terlarang. Istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan RI adalah Napza yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif.

Sejatinya narkoba merupakan zat yang dibutuhkan oleh umat manusia terkait dengan kepentingan ilmiah. Sebagai sarana kebutuhan medis yang penggunaannya secara terukur di bawah kendali ahli medis. Baik untuk kepentingan penelitian maupun pertolongan kesehatan.

Penggunaan narkotika  jua untuk kepentingan melatih anjing pelacak narkotika dari pihak kepolisian, bea dan cukai serta Badan Narkotika Nasional (BNN) maupun instansi lainnya. Yang menjadi masalah serius kemudian adalah ketika narkoba tersebut disalahgunakan.

Ibarat pepatah bijak, ‘Tak kenal maka tak sayang’. Mengutip situs Hukumonline.com, dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan, narkotika diklasifikasikan menjadi 3 golongan. Secara lebih spesifik hal itu dituangkan dalam Permenkes Nomor 9 Tahun 2022.

Narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Antara lain opium mentah, tanaman koka, daun koka, kokain mentah, heroina, metamfetamin dan tanaman ganja.

Golongan II berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Yakni ekgonina, morfin methobromide dan morfina.

Narkotika Golongan III berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Misalnya etilmorfina, kodeina, polkodina, dan propiram.

Memang tidak sedikit kasus atau perkara peredaran gelap narkoba masuk jaringan internasional atau transnasional. Namun kita tinggalkan sejenak sejarah narkoba skop internasional. 

Suksesnya dominasi Britania Raya memaksa Tiongkok mengimpor opium dari Great Britain yaitu perang opium pertama atau Perang Inggris-Tiongkok. Perang antara Perusahaan Hindia Timur Britania melawan Dinasti Qing di Tiongkok dari tahun 1839 hingga 1842.

Mengutip laman bnn.go.id, sejarah penanggulangan bahaya narkoba dan kelembagaannya di Indonesia dimulai tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (Bakin). Kepala Bakin pun membentuk Badan Koordinasi pelaksana Badan Koordinasi Pelaksana (Bakolak) Inpres Nomor 6 Tahun 971 sub team narkotika menyusul meningkatnya angka kasus / perkara narkoba di Tanah Air.

Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi kecil yang beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung dan lain-lain, yang berada di bawah komando dan bertanggung jawab kepada Kepala Bakin. Namun sayangnya kiprah Bakolak tidak begitu mumpuni karena tidak mendapat alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) kemudian mengesahkan UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang Undang tersebut, Pemerintah (Presiden Abdurahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116 Tahun 1999. 

Badan yang diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio tersebut beranggotakan 25 instansi terkait itu pun mengalami ‘nasib’ serupa. Sampai tahun 2002, BKNN tidak mempunyai personel dan alokasi anggaran sendiri. 

Embusan angin reformasi era 1998 pun bertambah kencang di Tanah Air. Megawati Soekarnoputri mengeluarkan Keppres Nomor 17 Tahun 2002 tentang BNN, menggantikan BKNN. BNN sebagai salah satu lembaga forum dengan tugas mengkoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional penanggulangan penyalahgunaan narkoba.

Menyusul kemudian diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2007 tentang BNN, Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK).

Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, lahirlah Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002. Berisikan rekomendasi kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Lahirlah UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan sampai sekarang masih berlaku.

PERMASALAHAN

Bicara seputar memutus mata rantai peredaran gelap narkoba lewat penuntutan pidana maksimal (hukuman mati) dan menimbulkan efek jera, tidaklah cukup 3 hari dan tiga malam suntuk. Tidak sesederhana itu. Permasalahannya kompleks plus teramat seksi. Ibarat melangkahkan kaki di bilik remang-remang sarat dengan iming-iming transaksional.

Bahkan Presiden RI Joko Widodo pada Puncak Peringatan Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) Tahun 2016, persisnya tanggal 26 Juni di Pinangsia Taman Sari, Jakarta Barat mengeluarkan statemen bernada warning keras.
 
“Para pengedar narkoba terus bergerak dan menemukan cara-cara baru untuk mengelabui kita, mengelabui aparat hukum dan keamanan. Mereka sudah mulai memanfaatkan orang-orang yang tidak dicurigai– anak dan wanita digunakan– dimanfaatkan untuk menjadi kurir narkoba,” tegasnya.

Demikian halnya pendapat menohok dari Iskandar Zulkarnain, salah seorang pengamat sosial Sumut. “Penyalahgunaan narkoba berkorelasi positif dengan tindakan kriminal. Termasuk kriminalitas di jalan raya. Hal itu disebabkan tindakan yang dilakukan sudah di luar nalar atau kesadaran,” kata Iskandar sebagaimana dilansir Kantor Berita Antara Sumut.

Dalam bahasa lebih sederhana, dari hulu ke hilir ada 4 ‘halte’ yang harus dilalui. ‘Halte’ pertama adalah penyidik Polri dan BNN. Kedua, kejaksaan sebagai penuntut umum. Ketiga, pengadilan sebagai benteng terakhir rasa keadilan dan kepastian hukum. 

Keempat adalah lembaga pemasyarakatan (lapas) atau rumah tahanan negara (rutan), persinggahan terakhir para narapidana yang menjalani masa hukuman.

Miris memang. Mengutip Indonesia Drug Report tahun 2022 (juga laman resmi BNN RI) yang merilis lima provinsi dengan positif narkoba tertinggi di Indonesia. Adapun pengungkapan indeks ini diambil berdasarkan penelitian melibatkan sejumlah sampel yang diambil oleh BNN dan dites kemudian urinenya.

Sumut, provinsi dikenal dengan keheterogenannya ini menduduki peringkat I positif terindikasi narkoba. Dari 26.755 orang yang diikutkan untuk dites urine, 237 orang dinyatakan positif narkotika. Disusul Aceh dengan sampel sebanyak 11.794 orang (206 orang positif narkotika). 

Posisi ketiga diduduki Kalimantan Selatan. Dari 10.554 orang dites urine (121 orang positif narkotika). Keempat, Sulawesi Tenggara dari 6.417 orang (47 orang positif narkotika). Posisi kelima diduduki Jawa Timur. Dari 12.966 orang yang dites urine (46 di antaranya dinyatakan positif narkotika).

Tidak mengherankan bila kemudian tahanan yang sedang menjalani persidangan maupun narapidana (napi) menjalani masa hukuman di lapas atau rutan didominasi mereka terkait perkara penyalahgunaan narkoba.

Informasi diperoleh dari salah seorang staf di Lapas Kelas I Medan, Rabu (31/7/2024) total 2.935 warga binaan dan 2.222 di antaranya atau 75,7 persen terjerat perkara penyalahgunaan narkoba.

Silih berganti tersangka diamankan penyidik dan divonis bersalah. Namun tidak berbanding lurus dengan menurunnya angka penyalahgunaan narkoba. Barang terlarang tersebut seolah tidak ada habisnya di luar sana. Sebaliknya semakin masif. 

Selain menggunakan jalur darat, udara (pintu gerbang bandara), banyaknya ‘pelabuhan tikus’ di bibir pantai Aceh hingga Tanjungbalai acap luput dari pengawasan aparat penegak hukum maupun perangkat desa setempat, turut menyumbang kasus penyalahgunaan narkoba. Segudang pertanyaan pun meronta-ronta di benak penulis. 

Apa mungkin disengaja? Atau tidak peduli? Ada apa? Apa ada? Ntah lah. Kata menimbulkan efek jera bagi para pelaku narkoba lagi-lagi merdu lirih terdengar. Namun tidak diikuti keinginan kuat dari APH yang bertugas di ‘halte’ pertama dan stakeholder lainnya. Ibarat perumpamaan, ‘Jauh panggang dari api’.

Pantauan penulis, dalam satu dasawarsa terakhir, belum satupun bandar narkoba yang dijadikan sebagai ‘pesakitan’ di PN Kelas IA Khusus Medan. Mentok di tingkat perantara jual beli (kurir). Perkara tanpa hak memiliki, menjual, membeli narkoba baik lewat undercover buy atau tidak, menjadi pemandangan biasa. 

Suka atau tidak, ‘utang’ penyidik menumpuk di pengadilan. Setelah diinterogasi, tersangka / terdakwanya memang ada menyebut nama pemilik narkoba. Namun ketika dicecar majelis hakim, saksi penyidik kemudian menimpali, “Masih dalam lidik Yang Mulia. Keburu buron Yang Mulia’. Entah kapan pun bandarnya bisa diciduk. 

Belum lagi persoalan klasik di hulu sana ('halte' keempat). Beberapa terdakwa perkara narkoba yang dilimpahkan ke PN Medan justru berstatus tahanan atau napi. Mereka bisa berkomunikasi keluar tembok penjara. Mampu mengendalikan pertemuan antara penjual dengan calon pembeli narkoba berujung pada transaksional.

Itu sebabnya di awal penulis terkesan guyon menyebutkan, bicara seputar memutus mata rantai peredaran gelap narkoba lewat penuntutan pidana maksimal (hukuman mati) dan menimbulkan efek jera, tidaklah cukup 3 hari dan tiga malam suntuk. Apakah kemudian kita apatis? Tentu saja tidak.

Menurut penulis, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak menyalahkan pihak lain. Namun mampu berdiri tegak, melompat dan berlari kencang keluar dari puing-puing permasalahan

Solusi

‘Roh’ dan denyut nadi memutus mata rantai peredaran gelap narkoba adalah pencegahan secara masif lintas sektoral dan penindakan hukum secara profesional, berkeadilan. Berkeadilan bagi generasi muda bangsa sebagai pewaris tongkat estafet menuju Indonesia Emas 2045 mendatang. Di situ kata kuncinya.



“Penyalahgunaan narkoba berkorelasi positif dengan tindakan kriminal, termasuk kriminalitas di jalan raya. Hal itu disebabkan tindakan yang dilakukan sudah di luar nalar atau kesadaran,”-- Iskandar Zulkarnain, pengamat sosial asal Sumut.

 


Langkah pencegahan dimulai dari kelompok terkecil yaitu keluarga. Kepiawaian orang tua menciptakan komunikasi yang lebih intens dan penuh tanggung jawab agar si buah hatinya terhindar dari penyalahgunaan narkoba. Fokus dengan kegiatan - kegiatan positif. 

Mengkampanyekan semangat anti terhadap penyalahgunaan narkoba secara masif dan berkesinambungan. Bukan hanya oleh APH tapi juga stakeholder lainnya seperti dinas, kantor atau badan di lingkungan pemerintahan Pusat hingga ke Daerah dan organisasi kemasyarakatan maupun pegiat anti narkoba.

Patut diacungkan jempol. Langkah pencegahan tersebut secara kontinu dilakukan Bidang Intelijen Kejati Sumut dan jajaran dengan menggelar penyuluhan hukum (Luhkum) dalam program Jaksa Masuk Sekolah (JMS) agar para siswa tidak terjebak dalam pusaran penyalahgunaan narkoba atau kejahatan lainnya dengan jargon, ‘Kenali hukum dan jauhi hukuman’. 

Bila diizinkan menyampaikan sumbang saran, diperlukan sentuhan inovatif dan humanis misalnya menggandeng para terpidana narkoba yang sudah insaf berbagi cerita ketika menyambangi sejumlah sekolah. Sejatinya narkoba adalah musuh bangsa. Narkoba bukan solusi masalah, justru ia adalah jalan sesat.
  
Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan selamat kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumut Idianto, Rabu malam (26/6/2024) lalu menerima penghargaan dari Kepala BNN RI Komjen Pol Marthinus Hukom.

Penghargaan tersebut diterima Idianto atas Komitmen dan Jasanya dalam Rangka Mewujudkan Indonesia Bersih Narkoba pada peringatan HANI 2024 di Pekanbaru, Riau. Penghargaan diterima Idianto diwakili Wakajati Sumut Rudy Irmawan.

Lewat salah seorang Koordinator Bidang Intelijen Kejati Sumut Yos A Tarigan disebutkan, hingga Juli 2024 ini pihaknya telah menuntut pidana mati sebanyak 49 terdakwa pengedar narkoba. Tangan kejaksaan memang tak sampai menyidik atau menguber tersangka bandar narkoba. Hanya diberikan kewenangan mendakwa, membuktikan adanya tindak pidana, menuntut hingga mengeksekusi para terpidana narkoba yang telah berkekuatan hukum tetap.   

Lacak Asetnya

Selama 26 tahun berpos peliputan di unit hukum, mohon maaf bila penulis sampai menggunakan kalimat rada ekstrem. Untuk menimbulkan efek jera, para bandar narkoba dan jaringannya juga patut dimiskinkan. Tidak hanya berkutat pada memenjarakan atau menghukum mati para terdakwanya.

Sama halnya ketika APH yakni kepolisian dan kejaksaan menangani perkara tindak pidana korupsi (tipikor). Para pelakunya juga patut dimiskinkan. Karena keduanya juga sama-sama kategori extraordinary crime yang dampaknya berpotensi menjegal program kesinambungan pembangunan di Tanah air.

Saran penulis, bila cukup bukti terkait peredaran gelap narkoba masuk jaringan internasional, sebaiknya selain dipidana maksimal orang yang melakukan (pleger), menyuruh melakukan (doen plegen) juga dimiskinkan. 

Biar ada efek jera demi menyelamatkan nasib generasi penerus bangsa agar tidak digerogoti zat adiktif penghancur syaraf otak. Patut diwaspadai, apalagi sampai mendanai operasional terorisme atau biaya politik.



“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak menyalahkan pihak lain. Namun mampu berdiri tegak, melompat dan berlari kencang keluar dari puing-puing permasalahan,”-- Robert Siregar, 31 Juli 2024. 



APH dalam hal ini penyidik (Polri, BNN) dan penuntut umum (Kejaksaan RI) dengan segala kewenangan diberikan, idealnya saling bersinergi melacak aset mereka. Baik itu barang bergerak atau tidak terindikasi dari hasil kejahatan narkoba agar kemudian dijerat dengan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). 

Masih ingat perkara peredaran gelap narkoba jenis sabu seberat 52 Kg dan 323.000 butir pil ekstasi atas nama Hanisah alias Nisa binti Abdullah? Wanita kerap hedon atau pamer kemewahan itu kini menjadi terpidana penjara seumur hidup.

Fakta terungkap di persidangan PN Medan, wanita berparas ayu tersebut yang menyambangi pemilik narkoba di negeri jiran, Malaysia dan sudah ada penampungnya di Kota Palembang, Sumatera Selatan. 

Dikarenakan masuk jaringan peredaran gelap transnasional, tim JPU pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan menuntut Hanisah, Al Riza (suaminya), Hamzah alias Andah bin Zakaria, Nasrullah alias Nasrul bin M Yunus, Mustafa alias Pak Mus serta Maimun alias Bang Mun agar diganjar dengan pidana mati.

Untuk menyeberangkan generasi muda bangsa Indonesia yang tangguh dan mumpuni, mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain menuju era Indonesia Emas 2045 mendatang, tidaklah cukup dengan karya tulisan inspiratif serta inovatif, seminar-seminar maupun slogan-slogan berisikan ajakan perangi penyalahgunaan narkoba.

Akhir kata, walaupun penuntutan pidana mati terhadap para bandar narkoba bukan satu-satunya jalan memutus mata rantai peredaran gelap narkoba. Namun langkah tersebut cukup efektif sebagai pintu masuk menitipkan pesan mendalam semoga menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan ‘gembong’ narkoba di luar sana. BRAVO Kejati Sumut dan jajarannya. (**)



Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini