JPU Kejari Medan Fauzan Irgi Hasibuan saat membacakan keterangan tertulis 2 saksi dari dua perusahaan (vendor) berbeda yang berkantor di Jakarta. (MOL/ROBERTS)
MEDAN | Giliran keterangan tertulis dua saksi fakta dibacakan JPU pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Medan dalam sidang lanjutan terdakwa korupsi beraroma kredit macet senilai Rp4,4 miliar Ikhsan Bohari, selaku Direktur pada Bohari Group (BG) juga debitur pada PT Bank Sumut Syariah (BSS) Cabang Medan.
“Sudah kita lakukan pemanggilan secara patut Yang Mulia. Sudah tiga kali. Empat saksi. Dua telah diambil sumpahnya sewaktu pemeriksaan. Ada berita acara pengambilan sumpahnya.
Belum bisa hadir Yang Mulia. Ada juga balasan surat resmi dari kelurahan setempat di Jakarta, Yang Mulia,” jelas Fauzan Irgi Hasibuan menjawab pertanyaan hakim ketua Andriansyah, Jumat (29/11/2024) di Cakra 9 Pengadilan Tipikor Medan.
Andriansyah pun meminta JPU dan tim penasihat hukum terdakwa menghampiri meja majelis hakim untuk melihat langsung dokumen berita acara kedua saksi yang telah diambil sumpah saat diperiksa tim penyidik pada Pidsus Kejari Medan.
Yakni atas nama Fathmy Adryahara, sebagai Freelance Operasional PT Ganisa Amanah Arga (GAA) serta Feranni, selaku
Head Accounting PT Samudera Mulia Karsa (SMK).
“Jadi begitu ya pak penasihat hukum terdakwa? Dua dari 4 saksi ada berita acara pengambilan sumpahnya. Dalam hukum acara pidana (KUHAP) sama nilainya di persidangan,” terang hakim ketua dan dijawab dengan anggukan dari tim penasihat hukum terdakwa.
Intinya, saksi Fathmy Adryahara, PT GAA sebagai vendor jasa pelayanan laut menerangkan, tidak pernah menerbitkan Surat Perjanjian Laut tertanggal 2 Februari 2019 kepada terdakwa Ihsan Bohari, selaku Direktur BG.
Sementara dalam Surat Perjanjian Laut tertanggal 2 Februari 2019 tersebut dijadikan terdakwa sebagai referensi sewaktu mengajukan fasilitas kredit pembiayaan ke PT BSS Cabang Medan.
Keterangan senada juga disampaikan saksi Ganisa Amanah Arga (GAA) serta Feranni, selaku Head Accounting PT SMK. Pihaknya tidak ada mengeluarkan Surat Perjanjian Laut tertanggal 1 Februari 2019 kepada terdakwa selaku Direktur BG. Dokumen dimaksud kemudian dijadikan terdakwa sebagai referensi saat mengajukan fasilitas kredit ke PT BSS Cabang Medan.
Hakim ketua melanjutkan persidangan pekan depan dengan agenda mendengarkan pendapat ahli dari Badan Pemeriksa Kuangan (BPK) RI.
Putus Kontrak
Sementara pada persidangan dua pekan lalu saksi Darul Ichran, Asisten Manager (Asman) Penyiapan Armada PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I Cabang Belawan menerangkan, sebanyak 13 item yang harus diselesaikan perusahaan terdakwa.
Namun progres pekerjaan docking stagnan. Riil pekerjaan di posisi 30 persen dan yang dibayarkan PT Pelindo I Cabang Belawan di posisi 20 persen.
“Yang dibayarkan PT Pelindo baru 20 persen. Kami kemudian melakukan pemutusan hubungan kontrak dengan terdakwa Yang Mulia,” sambungnya.
Ketika dikonfrontir hakim ketua Andriansyah, terdakwa mengatakan bahwa keterlambatan pekerjaan dikarenakan salah satu sparepart vital, tidak ada di Kota Medan. Harus dibeli di Jakarta. Bukan karena sengaja mengulur-ulur penyelesaian pekerjaan docking.
“Kami pindahkan kapal itu karena ada kapal lainnya yang mau masuk ke lokasi docking. Kapal yang tidak tuntas dikerjakan terdakwa itu perlu buat perusahaan dan harus segera diperbaiki. Tapi bukan perusahaan terdakwa. Perusahaan lain,” timpal saksi.
Sementara dalam dakwaan Fauzan Irgi Hasibuan menguraikan, periode tahun 2017 hingga 2019 terdakwa merupakan debitur pada PT BSS Cabang Medan berkedudukan sebagai Direktur BG.
Yakni sebagai Direktur PT Bahari Samudra Sentosa (BSS), Komisaris PT Bohari Mandiri Bersaudara (BMB) dan Wakil Direktur pada CV Gambir Mas Pangkalan (GMP).
Terdakwa bukan saja menyampaikan dokumen persyaratan dan penarikan pembiayaan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya kepada bank plat merah tersebut. Di antaranya untuk pembelian kapal tanker dan perbaikan (docking) kapal.
Tapi juga menggunakan dana pembiayaan yang tidak sesuai dengan tujuan pembiayaan. Melainkan untuk membayar angsuran pembiayaan investasi tahun 2017 dan modal kerja tahun 2018 berujung kredit macet yang merugikan keuangan negara Rp4,4 miliar lebih. (ROBERTS)