LANGKAT | Alih fungsi puluhan hektare mangrove di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Pangkalan Susu, Kab. Langkat, Sumatera Utara menjadi sorotan bagi beberapa orang aktivis.
Azhar Kasim, salah seorang aktivis lingkungan di Kab. Langkat angkat bicara kepada wartawan, Jumat (21/02/2025). Pria kelahiran Pangkalan Brandan itu meminta Presiden RI Prabowo Subianto mencabut izin TORA yang diberikan kepada pihak yang seharusnya tidak berhak menerima.
Program Tanah Objek Reformasi Agraria (TORA) KLHK yang memicu deforestasi yang berpotensi merugikan para nelayan di wilayah pesisir Desa Tanjungpasir, Kec. Pangkalansusu,
Lebih lanjut, Azhar, program TORA yang dibuat pemerintah, pada prinsipnya lebih memperhatikan nasib masyarakat miskin khusunya bagi warga yang selama ini tidak memiliki tanah, bukan malah sebaliknya diberikan kepada orang kaya atau pengusaha.
Ia tidak dapat menerima kawasan hutan mangrove yang begitu luas dan selama ini bukan sebagai tempat pemukiman atau lokasi bercocok tanam masyarakat seperti di Desa Tanjungpasir mendapatkan prioritas TORA, ucapnya.
Sorotan tajam juga dicetuskan oleh pengurus DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Tajrudin Hasibuan, ST. Ia sangat prihatin melihat nasib nelayan tradisional jika lahan tempat mereka mencari nafkah semakin jauh berkurang.
Dia mengatakan, kawasan hutan mangrove tidak dapat dikonversi. Jika terdapat surat berkaitan dengan pelepasan kawasan hutan, lanjutnya, maka para pelaku terlibat, mulai dari pengusul hingga pihak yang menerbitkan surat pelepasan kawasan wajib ditindak tegas.
Dia menjelaskan, sesuai dengan peraturan, masyarakat yang berhak mendapatkan program TORA dari pemerintah di antaranya menempati kawasan sekurang-kurangnya selama 15 tahun, terang Tajrudin.
Kemudian, lanjutnya, penerima program adalah warga masyarakat lokal yang belum memiliki rumah atau belum memiliki alas hak terhadap tanah negara yang ditempati. Jika yang mendapat program ini orang luar daerah, apalagi pengusaha, ini menyalahi aturan.
Ia meminta Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) untuk melakukan pengusutan, karena patut diduga ada unsur KKN dalam proses pengusulan program ini. DPP KNTI meminta supremasi hukum benar-benar ditegakkan demi terciptanya rasa keadilan bagi masyarakat pesisir.
Sementara itu, salah seorang pegawai Badan Pertanahan Nasional Kab. Langkat mengatakan, menurut pengetahuannya, tahun 2024 BPN belum ada menerbitkan surat sertifikat program PORA di kawasan mangrove di Desa Tanjungpasir. “Setahu saya BBN belum ada mengeluarkan sertifikat, tapi itu pun saya cek nanti,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Seksi Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Stabat, Tanta Perangin-angin, dikonfirmasi Wartawan mengatakan, program TORA ini kewenangan BPKH, sedangkan KPH hanya sebatas sebagai fasilitator.
Dia menjelaskan, terkait dengan kawasan hutan mangrove ini, berita acara tata batas sudah lengkap yang mana Kades, Camat dan Pemkab Langkat dalam hal ini Asisten I Tata Pemerintahan sudah menekan. “Secara administrasi, mekanisme pelepasan tata batas sudah ditekan,” ujarnya.
Namun begitu, Tanta, mengaku pihaknya belum mengetahui apakah lahan tersebut sudah ada izin resmi untuk dikerjakan. Ia mengatakan, akan menemui pihak Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Senin depan, untuk mempertanyakan kejelasannya.
Beberapa nelayan di Desa Tanjung Pasir, dan desa tetangga seperti yang telah diberitakan Matro Online baru baru ini, mereka tetap berharap agar pemerintah membatalkan alih fungsi mangrove di Dusun V & VI Desa Tanjung Pasir.
"Kawasan mangrove itu merupakan tempat mencari ikan, udang dan kepiting bagi para nelayan tradisional, sejak nenek moyang kami hingga generasi yang sekarang. Jika areal itu dialih fungsikan, dan dikuasai pengusaha, maka dampaknya akan semakin menurunnya hasil tangkapan nelayan," ujar Zulkifli dan Amri.(ls/lkt1)