Tan Andyono (kiri) dan Fernando HP Munthe jadi 'pesakitan' di Pengadilan Tipikor Medan. (MOL/ROBERTS)
MEDAN | Dua terdakwa korupsi beraroma kredit macet mencapai Rp36.932.813.935 di PT BNI (Persero), Tbk SKM Jalan Pemuda Medan, Jumat (14/5/2025) di Cakra 9 Pengadilan Tipikor Medan dituntut bervariasi.
Fernando HP Munthe, selaku Pegawai Sementara Senior Relationship Manager (Pgs SRM) PT BNI (Persero), Tbk SKM Medan dituntut agar dipidana 4 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsidair (bila denda tidak dibayar diganti dengan kurungan) selama 3 bulan.
Sedangkan debitur Tan Andyono (berkas terpisah), selaku Direktur PT Prima Jaya Lestari Utama (PJLU) dituntut 7,5 tahun penjara dan dipidana denda Rp750 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Tim JPU pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) dimotori Putri menguraikan, dari fakta terungkap di persidangan, kedua terdakwa dinilai telah memenuhi unsur melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan subsidair.
“Pasal 3 Jo Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana,” katanya di hadapan majelis hakim diketuai Sulhanuddin didampungi anggota majelis Lucas Sahabat Duha dan Syahrizal Munthe.
Yakni menyuruh atau turut serta menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Hal membaratkan, perbuatan terdakwa tidak sejalan dengan program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal meringankan, terdakwa bersikap sopan selama persidangan dan belum pernah dihukum.
UP
Bedanya, terdakwa Tan Andyono selaku debitur yang berujung kredit macet Rp36.932.813.935 di BNI Jalan Pemuda Medan saja yang dikenakan pidana tambahan membayar uang pengganti (UP) kerugian keuangan negara sebesar Rp9 miliar lebih.
Dalam perkara a quo, JPU menilai kerugian keuangan negaranya sekitar Rp17 miliar. “Dikurangi Rp8 miliar yang berada dalam penguasaan BNI,” tegas Putri.
Dengan ketentuan, sebulan setelah perkanya memperoleh putusan dari pengadilan berkekuatan hukum tetap, harta benda terpidana nantinya disita dan dilelang JPU.
Bila harta bendanya juga tidak mencukupi untuk menutupi UP tersebut, maka diganti dengan pidana 3,5 tahun penjara.
Sulhanuddin melanjutkan persidangan, Selasa depan (18/5/2025) untuk mendengarkan nota pembelaan kedua terdakwa maupun tim penasihat hukumnya. Sementara di persidangan sebelumnya, terdakwa Fernando HP Munthe sempat mempertanyakan tanggung jawab pimpinannya selaku pemutus pemberian kredit ke Tan Andyono.
Rp18 M ke Mana?
Sementara usai persidangan, awak media sempat melontarkan pertanyaan ‘menggelitik’ kepada Putri selaku ketua tim JPU. Sebab dalam dakwaan, kerugian keuangan yang ditimbulkan mencapai Rp36.932.813.935.
“Itu total pinjaman dan bunganya. Riilnya Rp17 miliar. Yang diterima terdakwa (Tan Andyono) Rp9 miliar dan penguasaan bank BNI sebesar Rp8 miliar,” tuturnya.
Dengan demikian, tidak diketahui bagaimana dengan sisa total kerugian keuangan negara sebesar Rp18 miliar lagi. Sebab bila total kerugian keuangan negara sebagaimana dakwaan sebesar Rp36 miliar lebih dikurangkan dengan Rp17 miliar lebih, hasilnya Rp18 miliar lebih
Macet
Dalam dakwaan disebutkan, perkara korupsi beraroma kredit macet tersebut berawal dari take over kredit terdakwa Tan Andyono selaku Direktur PT PJLU semula di PT Bank Artha Graha Internasional (Tbk) Cabang Medan, ke PT BNI Jalan Pemuda Medan, tahun 2018.
Yakni untuk pembangunan Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS) yang terletak di Jalan Lintas Sumatera (Rantau Prapat-Aek Kanopan), Desa Kampung Pajak, Kecamatan NA IX-X, Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), Sumut.
Take over tersebut merupakan ide dari terdakwa Fernando HP Munthe selaku Pgs SRM dikarenakan pinjaman PT PJLU di Bank Artha Graha masih belum lunas.
Tertanggal 22 Maret 2018 Fernando HP Munthe, bersama Wayan Arifian selaku Regional Manager (RM) / Analis Kredit, Marisi Paulina Manik selaku Credit Risk Manager (CRM), Junaido Kholis selaku Pemimpin Kelompok Manajer Bisnis (KMB), Ir Kusnandar Helmi selaku Pemimpin Resiko Wilayah dan Latip Suharjani selaku Pemimpin SKM Medan memang ada melakukan Kunjungan Setempat atau OTS (On The Spot) ke lokasi usaha dan lokasi jaminan (agunan) atas kredit yang diajukan Tan Andyono.
Namum belakangan terungkap syarar-syarat untuk diberikan pinjaman (kredit), tidak sesuai Standar Operasional dan Prosedur, layaknya di dunia perbankan dan berujung kredit macet di bank BNI Jalan Pemuda Medan. (ROBERTS)