![]() |
Foto ilustrasi pasar tradisional Tebingtinggi. |
Dua rekomendasi tersebut yakni, pertama meminta Kepala Dinas Perdagangan harus lebih optimal dalam mengawasi dan mengendalikan kegiatan penerimaan retribusi pasar.
Kedua, menginstruksikan Kepala UPTD Pasar untuk melakukan pendataan potensi penerimaan retribusi pelayanan pasar dan menetapkan wajib retribusi kepada pedagang kios/los aktif pada Pasar Inpres.
Rekomendasi BPK dimaksud berdasarkan temuan dari tim pemeriksa yang sudah melakukan pengujian penatausahaan, pengelolaan pendapatan retribusi pelayanan pasar, pemeriksaan fisik secara uji petik, konfirmasi kepada pedagang dan permintaan keterangan pada petugas pasar.
Dimana didapati kios di Pasar Inpres yang aktif tak pernah dipungut retribusi pelayanan pasarnya selama tahun 2023.
Bahkan yang menghuni kios bukan pemiliknya, tidak ada perjanjian sewa-menyewa antara UPTD dengan pemilik kios.
Pengamat Kebijakan Publik dan Wnggaran Ratama Saragih angkat bicara, Rabu (16/4/2025) terkait temuan BPK tersebut.
"Temuan itu bisa dijadikan pembelajaran, karena temuannya sangat memprihatinkan bahwa ada pasar di Tebingtinggi yakni Pasar Inpres yang selama satu tahun 2023 kios dan los pasar tidak ditetapkan sebagai sumber penerimaan retribusi pelayanan pasar," ujar Ratama.
Retribusi yang tidak diterima terdiri dari retribusi pemakaian bangunan, retribusi kebersihan, retribusi jaga malam dan retribusi pelataran.
Hal itu diatur dalam Perda Kota Tebingtinggi Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Perda Kota Tebingtinggi nomor 6 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah.
Yang lebih mirisnya lagi, kata Ratama, Tim Pemeriksa BPK mendapat keterangan dari juru pungut Pasar Inpres kalau pemungutan retribusi pelayanan pasar atas kios dan los tak pernah dipungut sejak tahun 2019 sampai pemeriksaan berlangsung 20 Mei 2024.
Responden BPK ini menyarankan kepada Wali Kota Tebingtinggi agar belajar dari temuan BPK dimaksud, karena banyak pasar tradisional selain Pasar Inpres ini yang penata usahaannya belum maksimal, antara lain Pasar Induk, Pasar Sakti, Pasar Kain yang juga pernah jadi temuan BPK.
Dapat dibayangkan ada sumber PAD yakni uang yang los atau tak nampak karena tak dipungut selama 2019 hingga 2024 retribusi pelayanan Pasar Inpres.
"Itu masih satu pasar, bagaimana lagi dengan Pasar Sakti yang pasca putusan pengadilan tak jelas pengelolaan pasarnya sebagai sumber Penerimaan Asli Daerah (PAD), padahal uang negara sudah habis terkuras untuk membangunkan fasilitas di Pasar Sakti dimaksud," kata Ratama.
Penyandang sertifikat 'Teknologi Audit Forensik' ini sangat menyayangkan jika potensi PAD Kota Tebingtinggi dari Retribusi Pasar di Tebingtinggi ini tak signifikan terhadap percepatan laju pertumbuhan ekonomi kerakyatan.
Terbukti bahwa BPK menyebutkan masih 56,20% atau setara Rp.526.905.000,00 pendapatan retribusi pasar menyumbangkan ke PAD Kota Tebingtinggi.
"Sudah waktunya untuk lakukan terobosan dengan mengundang investor lokal dan luar tetapi harus terlebih dahulu membenahi infrastruktur, instrumen, pejabat pengelola dan regulasinya agar ada kepastian hukum sebagai modal dan daya tarik investor," jelasnya.
Dia meminta DPRD Kota Tehingtinggi segera melakukan peninjauan Perda terkait retribusi daerah karena dari PAD lah Kota Tebingtinggi ini bisa mensejahterakan warganya.
"Jika perlu, undang stakeholder dan masyarakat pemerhati sebagai bagian dari uji publik Perda dimaksud," ujarnya.
Terpisah, Kadis Perdagangan Tebingtinggi Zahidin saat dikonfirmasi mengatakan masih mempertanyakan temuan BPK dimaksud. Dia mengaku akan mengundang wartawan untuk membahasnya langsung. (Sdy/Sdy)